BACAKORANCURUP.COM - ARSITEK tidak seperti dokter: tidak punya spesialisasi dan sub spesialisasi. Kalau toh ada ARSITEK yang mengkhususkan ke satu sub keahlian, itu atas inisiatifnya sendiri.
Misalnya Adi Utomo Hatmoko ini: ia spesialis arsitek rumah sakit. Tapi tidak ada gelar Ir SpRS bagi orang seperti Adi.
Kekhususan arsitek Adi pun didapat karena nasib: waktu kuliah S-2 di Georgia Tech, Amerika Serikat, ia dapat dosen pembimbing yang punya spesialisasi merancang bangunan rumah sakit.
Maka pulang ke Indonesia Adi mengkhususkan diri untuk menekuni apa yang dilakukan dosennya.
Ia dirikan perusahaan arsitek: PT Global Rancang Selaras. Direkturnya istrinya sendiri: Wahju Wulandari.
Mereka sama-sama arsitek. Sama-sama alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
BACA JUGA:PPN 12 Persen Bisa Perburuk Ekonomi Rakyat
BACA JUGA:KPK Periksa 7 Mantan Anggota Dewan Jatim
Memang, di Kampus Biru itulah mereka bertemu. Sang istri masuk UGM tiga angkatan di bawahnya. Kini pasangan itu punya tiga putri: yang sulung, Kalaksitaning Atisuci, arsitek lulusan UGM.
Anak kedua, Kanugrahaning Atiluhur, arsitek lulusan Universitas Indonesia.
Sedang si bungsu, Tirta Atiwening, arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung. Rumah sakit memang bangunan yang sangat tipikal. "Semua bentuk harus mengutamakan fungsi," ujar Adi. Terutama tata letak: harus sesuai dengan flow proses pengobatan.
Aliran itu biasanya dimulai dari UGD --bagian gawat darurat. Atau penerimaan pasien. Maka bangunan UGD harus terkoneksi dengan alat pemeriksaan yang diperlukan.
Proses selanjutnya saling kait mengait. Sampai di bagian akhir sebuah rumah sakit: di mana kamar mayat harus diletakkan.
Bangunan RS juga harus mengesankan kebersihan yang tinggi. Salah satu ”penggangu” kesan bersih itu adalah halaman parkir. Terlihat ruwet. Terkesan banyak polusi. Keras. Kejam. Tidak sehat.
Maka bangunan RS sebaiknya "menyembunyikan" halaman parkir. Masalahnya adalah lahan. Tidak semua rumah sakit punya lahan yang cukup. Banyak pula yang lokasi parkirnya sangat dipaksakan.