"Ada harimau?”
"Tidak ada".
"Ular?”
"Kadang-kadang".
Ini wilayah yang berbeda di Ethiopia. Ada sumber air di tengah hutan itu. Banyak. 40 sumber (Arba Minch). Airnya jernih sekali. Saya minum dari parit di situ. Pakai daun yang mirip daun talas. Airnya tidak bisa menempel di daun.
Lapar
Saya tidak mau diajak lihat peternakan buaya. Bukan karena saya sendiri buaya, tapi sudah pernah melihatnya di Tarakan, Kaltara. Juga sudah melihat yang lebih besar di Darwin, Australia Utara.
Kami pun keluar dari hutan. Ke kota. Cari restoran paling terkenal di situ.
Jalan dari hutan ke kota masih berdebu. Kanan kirinya lagi digali. Bangun parit. Juga trotoar.
Di resto itu saya melihat banyak wanita berkerudung putih. Juga berbaju seperti abaya sewarna.
"Kenapa banyak wanita pakai jilbab?"
"Ini kan hari Minggu. Mereka baru pulang dari gereja," ujar teman di Arba Minch yang menemani saya.
Begitulah di Ethiopia. Wanita Kristen nya juga berkerudung dan berkebaya. Khususnya kalau ke gereja. Lalu saya perhatikan lehernya: ada kalung salib. Kerudung, abaya, salib. Jadi pandangan paradok bagi saya yang dari Indonesia.
Salah satu wanita itu ternyata kenal baik dengan teman saya. Ketika kami datang ke mejanya, dia dan keluarganya sedang makan. Si wanita menyuapkan makanan ke mulut teman. Dengan tangannya. Lalu menyuapkan makanan serupa ke mulut saya. Itulah tanda keakraban berteman.
Saya kunyah pelan-pelan makanan itu: ingin tahu rasanya. Juga ingin tahu itu makanan apa. Ooohhhh... rasa daging mentah. Inilah yang dimaksud Bu Al.
Daging mentahnya tidak terlihat. Dibungkus dengan cuilan "tortila" Ethiopia. "Tortila"-nya digulung. Bukan dibiarkan dalam bentuk lembaran.