
4. Pemilihan Model Bisnis yang Relevan dengan Potensi Lokal
Koperasi desa harus memiliki model bisnis yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Tidak semua desa cocok dengan usaha simpan pinjam atau perdagangan umum. Beberapa mungkin lebih kuat di sektor pertanian, pariwisata, atau kerajinan lokal. Lakukan pemetaan potensi desa terlebih dahulu sebelum mendirikan koperasi. Gunakan pendekatan bottom-up, bukan hanya top-down.
5. Pendampingan dan Monitoring Berkala
Koperasi Merah Putih yang baru dibentuk membutuhkan pendampingan jangka menengah hingga panjang. Monitoring juga penting untuk memastikan koperasi berjalan sesuai prinsip dan tidak disalahgunakan. Bentuk tim pengawas atau koordinator wilayah dari pemerintah daerah atau pusat yang bertugas melakukan kunjungan, pembinaan, dan evaluasi secara berkala.
6. Digitalisasi dan Transparansi
Di era digital, koperasi harus mampu beradaptasi dengan teknologi untuk pengelolaan keuangan, inventori, hingga pelaporan. Transparansi menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan anggota. Pemerintah dapat menyediakan platform digital koperasi yang dapat diakses gratis, serta pelatihan digital literacy bagi pengurus dan anggota koperasi.
7. Kolaborasi dengan BUMDes dan Gapoktan
Banyak desa yang telah memiliki kelembagaan ekonomi seperti BUMDes, kelompok tani (Gapoktan), atau UMKM kolektif. Jangan sampai Koperasi Merah Putih menjadi pesaing, tetapi justru harus berfungsi sebagai penguat atau penggabung potensi-potensi ekonomi yang telah ada. Gunakan pendekatan integratif, bukan kompetitif. Jika memungkinkan, lakukan transformasi kelembagaan menjadi koperasi Merah Putih.
8. Peran Aktif Pemerintah Daerah
Keberhasilan koperasi tidak hanya ditentukan oleh pusat, tetapi juga dukungan dari pemerintah daerah. Mereka yang lebih memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Berikan ruang partisipasi aktif kepada kepala desa, camat, hingga bupati/wali kota dalam proses pembentukan, pengawasan, dan pengembangan koperasi.