Sampai sekarang belum ada lulusan ITC Center yang bekerja di kereta cepat. Sebelum lulus pun mereka sudah banyak di-inden perusahaan Tiongkok lainnya yang ada di Indonesia. Penerima beasiswa ITC Center tahun ini lebih merata. Dari berbagai kabupaten di Indonesia. Mulai dari Gunung Sitoli sampai Biak di Papua. Dari Aceh, Padang, sampai Nunukan. Yang terbanyak dari Kaltara. Sedang dari Papua merosot drastis: tinggal dua orang.
Tahun-tahun sebelum Covid yang dari Papua dominan. Bisa sampai 40 orang.
Saya pun bertanya kepada Andre So, staf di ITC Center yang sering keliling pesantren mencari penerima beasiswa.
Jawabnya: "Penurunan mahasiswa dari Papua terkait dengan tidak turunnya dana otonomi khusus dari pusat". Dulu Pemda di Papua menggunakan sebagian kecil dana otsus untuk mereka. Para mahasiswa asal Papua itu umumnya mengambil jurusan kedokteran.
Jumlah calon mahasiswa dari pesantren juga terus bertambah. Pondok Tebuireng, Jombang; Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto; Pesantren Modern Tursina, Malang; Bumi Sholawat, Sidoarjo; Sidogiri, Pasuruan adalah langganan ITC Center. Andre So sudah pandai berkopiah ketika keliling pondok pesantren.
Salah satu yang juga hadir di acara kemarin adalah KH Yusuf Daud. Seorang sufi. Masternya di bidang Islamic Mysticism dari ICAS London. Ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Italia, dan Jerman. Salah satu bukunya: Menembus tujuh lapis langit.
Yusuf Daud dan dua anaknya. Salah satunya Najma Basheera Citra Putri Daud yang kuliah di Guilin University of Electronic Technology jurusan International Chinese Language Teaching sampai 2026.--
Dua anaknya kuliah di Tiongkok. Di Nanjing. Namanya Aja Ibrahim Daud. Ambil prodi bisnis internasional. Anak itu saya minta naik panggung. Saya ajak dialog. Bahasa Mandarinnya gila: lebih bagus dari yang mengajak dialog.
Saya ingat awal-awal program ini: begitu sulit meyakinkan orang tua calon mahasiswa: takut anaknya jadi komunis. Atau terkontaminasi makanan daging babi.
"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Kami melakukannya. Tanpa babi dan ideologi".