Fokus saat itu terutama untuk penyakit seperti kanker. Dengan artificial intelligent bisa dilakukan pencegahan. Juga bisa dilakukan deteksi dini. Dengan demikian terapinya optimal dan kesuksesan pengobatannya tinggi.
Di samping nyantrik di tokoh ilmuwan dunia Ningrum juga bergabung ke global burden disease collaborator. Itu dikelola oleh IHME Washington University, Amerika Serikat.
Di situ bergabung lebih dari 600 peneliti dari seluruh dunia. Terbanyak dari Tiongkok dan India. Yang dari Indonesia ada Ningrum.
Maka Ningrum pun, seperti Prof Dr Hermawan dari ITB, menganjurkan para peneliti untuk mengikuti jalan Ningrum.
Dina lama sekali di Taiwan: 7,5 tahun. Ketika berangkat tiga orang (dia, suami, dan satu anak). Ketika pulang lima orang. Dua anaknyi lahir di sana.
Saya pun mencoba mengirimi Ningrum WA dalam bahasa Mandarin. "Itu dia," jawabnyi. "Begitu lama di Taiwan gagal belajar bahasa Mandarin," tambahnya.
Itu karena kampusnya full menggunakan bahasa Inggris. Bahkan Taiwan mendorong mahasiswa lokalnya untuk lebih berbahasa Inggris.
Ningrum hanya bisa bahasa setempat untuk belanja di pasar. Dia tidak pernah kesulitan untuk belanja yang tidak mengandung minyak babi. "Masyarakat di sini sangat menghormati pilihan orang. Juga sangat membantu. Sikap masyarakatnya sangat Islami. Hanya tidak bersyahadat," ujar Ningrum.
Mereka begitu semangat membantu mencarikan barang yang halal. Belum tentu kita mau mencarikan daging babi ketika giliran mereka yang minta bantu.
Ningrum bersuamikan orang software. Lalu ikut ke Taiwan menemani Ningrum S-3. Sang suami juga kuliah. Ambil S-2 data science.
Saat ini sang suami lagi ambil S3 di biotech dan healthcare management. Ia fokus di studi keamanan pertukaran data rekam medis dan hubungannya dengan penggunaan AI di bidang kesehatan.
Ningrum kehilangan ayah tiga tahun lalu: kanker liver. Ibunyi, wanita Madura, seorang tenaga kesehatan juga, sudah pensiun. Dr Ningrum sendiri kini mengajar di fakuktas kedokteran sejak Unnes punya fakultas kedokteran.
Dr Ningrum mengaku belum punya banyak karya penelitian perorangan. Salah satunya soal prediksi demam berdarah di Semarang dengan menggunakan AI dan big data.
Memang, kata Prof Hermawan, ada yang bersikap sinis atas apa yang dilakukan Dr Ningrum.
Penelitian seperti itu ibarat karya bersama. Tidak terlihat hebat secara pribadi.
Tapi, kata Hermawan, untuk bisa bergabung ke grup besar seperti itu juga tidak mudah. Harus berkualitas. Kalau tidak berkualitas tidak akan diterima juga.