Praktisi Hukum di Curup Tanggapi Vonis Hukuman Mati Gunawan
Praktisi Hukum, Khadafi Alfiqri, S.H.-Ist/CE -
BACAKORANCURUP.COM – Vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Curup terhadap terdakwa kasus pembunuhan, Gunawan, menuai perhatian publik, termasuk dari kalangan praktisi hukum.
Salah satunya datang dari praktisi hukum muda, Khadafi Alfiqri, S.H., yang menilai bahwa penerapan hukuman mati harus dilihat secara proporsional berdasarkan aspek yuridis dan non-yuridis yang menjadi pertimbangan hakim.
Menurut Khadafi, dalam proses penjatuhan putusan, majelis hakim tidak serta-merta menjatuhkan pidana mati tanpa pertimbangan matang. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur bahwa hakim wajib bermusyawarah sebelum menentukan putusan akhir.
“Majelis hakim tentu mempertimbangkan berbagai hal, baik dari sisi fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan maupun aspek moral dan sosial dari tindak pidana tersebut,” jelasnya.
Ia menjelaskan, dalam musyawarah tersebut hakim akan menilai dua jenis pertimbangan utama, yakni pertimbangan yuridis dan pertimbangan non-yuridis.
BACA JUGA:Desa Air Bening dan Cawang Lama Masuk 10 Besar Desa Wisata Tingkat Provinsi Bengkulu 2025
BACA JUGA:Wabup Rejang Lebong Dorong Desa dan Kelurahan Pemetaan Dini Potensi Kekerasan Perempuan dan Anak
Pertimbangan yuridis meliputi fakta hukum dan dasar pasal yang relevan, sedangkan pertimbangan non-yuridis mencakup akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, serta peran dan kedudukannya dalam tindak pidana. Selain itu, majelis juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan, terutama apabila perbuatan terdakwa mengancam keamanan, menimbulkan ketakutan di masyarakat, dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan secara mendalam.
Lebih lanjut, Khadafi menyoroti bahwa pidana mati merupakan jenis hukuman paling berat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 hingga Pasal 43 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tujuan utama dari pidana ini, menurutnya, bukan semata-mata untuk membalas perbuatan pelaku, tetapi juga menjadi efek jera dan perlindungan bagi masyarakat dari ancaman kejahatan berat. “Hukuman mati diharapkan mampu mencegah orang lain melakukan tindak pidana serupa karena rasa takut terhadap konsekuensi yang sangat berat,” ujarnya.
Namun, Khadafi juga mengakui bahwa penerapan hukuman mati masih menjadi perdebatan panjang di kalangan ahli dan praktisi hukum. Ada pihak yang menilai hukuman mati sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak hidup yang bersifat inalienable right, hak yang tidak dapat dicabut dalam keadaan apa pun.
Sementara pihak lain menilai pidana mati sebagai “ultimum remedium”, yaitu langkah terakhir yang hanya dijatuhkan apabila seluruh unsur pemidanaan telah terpenuhi dan tidak ada alternatif hukuman lain yang sepadan.
“Pidana mati menyentuh wilayah moral dan spiritual manusia. Karena hak hidup sejatinya berada di tangan Tuhan, maka pelaksanaannya sering menimbulkan pro dan kontra. Meski demikian, dalam kasus tertentu, pidana mati dipandang sebagai upaya menjaga keseimbangan keadilan dan ketertiban sosial,” terang Khadafi.