Bangunan-bangunan yang diduga menjadi markas para militan Hamas diserbu.
Posisi Hamas yang kian terdesak membuat taktik perang jarak dekat dilakukan Hamas. Kalau perlu pakai risiko maksimal: tertembak.
Kemungkinan kedua, militan Hamas kian militan. Mereka kian sulit bergerak. Tidak ada pilihan: dibunuh atau membunuh. Maka Israel tidak bisa gegabah lagi melakukan serangan.
Bisa jadi Hamas memasang senjata ranjau di bangunan-bangunan yang akan diserbu Israel. Atau satu-dua militan sengaja menunggu kedatangan tentara Israel. Lalu diserbu dari jarak dekat.
Perang Israel-Hamas ini sebenarnya tidak imbang. Tapi sudah 3,5 bulan belum berakhir. Bahkan lokasi sandera pun belum ditemukan.
Menyembunyikan 132 sandera sungguh tidak mudah. Tapi Hamas mampu mempertahankan sandera. Tawaran terakhir Israel langsung ditolak Hamas.
Yakni Israel sanggup genjatan senjata dua bulan kalau seluruh tawanan dibebaskan.
Tawanan, bagi Hamas adalah senjata penting. Konon serbuan Hamas ke acara musik psychedelic Israel tanggal 7 Oktober lalu punya tujuan itu –mencari tawanan Israel.
Untuk apa?
Banyak militan Hamas yang ditahan di Israel. Ribuan. Hamas selalu gagal memperjuangkan pembebasan mereka. Maka harus dicari sandera baru. Sebagai nilai tawar tukar tahanan.
Tewasnya 24 tentara Israel di satu peristiwa merupakan kejutan kedua. Inilah jumlah korban terbesar.
Hamas telah menemukan taktik perang jarak dekat. Kalau taktik itu dianggap berhasil tentu banyak bangunan lain yang disiapkan untuk perang jarak dekat.
Apa yang terjadi di Gaza sekarang ini mengingatkan saya pada para gerilyawan Indonesia di sekitar perang kemerdekaan.
Secara kekuatan senjata gerilyawan kita tidak sebanding dengan Belanda.
Tapi para gerilyawanan itu tidak takut. Mereka selalu bisa mencari cara menyergap pasukan Belanda.
Namun medan perang di Gaza sangat sempit. Hanya sekitar 40 x 100 km. Tanpa hutan. Tanpa pegunungan. Mau ngumpet di mana.