Baca Koran curupekspress Online - bacakorancurup.com

Panglima Merah Oleh: Dahlan Iskan

Wapres Gibran berpidato ketika mendatangi ulang tahun Panglima Jilah.--

BACAKORANCURUP.COM -Ini hanya kebetulan: waktu saya mendarat di Pontianak, dua hari lalu, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka BSc, baru saja meninggalkan bandara itu kembali ke Jakarta. Sabtu sore itu wapres baru saja menghadiri ulang tahun ke-45 Panglima Jilah. Sedang saya akan ikut acara lari lima kilometer Minggu pagi keesokan harinya. 

Ulang tahun Panglima Jilah berlangsung di Desa Sambora, dua jam bermobil dari Pontianak. Acara lari saya di Kabupaten Kubu Raya, tempat Bandara Supadio berada. 

Tidak banyak yang tahu latar belakang Panglima Jilah. Arti Jilah adalah merah. Apa yang dikatakan Panglima Jilah sangat dituruti pengikutnya. Pengikut Panglima Jilah disebut Pasukan Merah. Anggotanya lebih dari 300.000 orang. Sampai pun di Serawak dan Brunei.

Panglima Jilah digambarkan sebagai orang sakti. Dipercaya pula bisa terbang cepat dengan kendaraan daun kelapa sawit. Setengah gaib. Tentu belum pernah ada orang yang melihatnya. 

Yang terlihat secara fisik: badannya penuh tato. Merata. Hanya wajah angkernya yang tanpa tatto. Semua tattonya khas suku Dayak. Dibuat secara traditional dengan warna tatto diambil dari dedaunan obat di pedalaman Kalbar. Nama aslinya Antonius. Agama resminya Katolik. 

Di Kubu Raya, seusai lari, saya duduk satu meja dengan banyak pejabat setempat. Sambil menunggu acara hiburan masal di panggung besar di depan kantor bupati Kubu Raya. Setiap kursi di meja itu saya tanya: apakah tahu latar belakang pendidikan Panglima Jilah. 

Tidak ada yang tahu. Banyak telinga di sekitar saya juga saya tanya serupa. Jawab mereka sama. 

Orang sakti memang dikesankan penuh misteri. Dua orang di antara kursi itu bisa sedikit menjelaskan: waktu muda Panglima Jilah pekerja kasar di sekitar Mempawah. Lalu menghilang lama. Cerita yang beredar: ia bertapa di gunung. Bertahun-tahun. Dari situlah diperoleh kesaktian. 

Gelar "Panglima Jilah" sendiri kelihatannya untuk mewarisi mitos yang selama ini hidup di lingkungan masyarakat Dayak: "Panglima Burung". Yakni tokoh misteri yang di saat kritis akan muncul membela dan menyelamatkan orang Dayak. Itu yang membuat orang Dayak menjadi pemberani dalam perang: mereka percaya akan dilindungi oleh ruh Panglima Burung. Panglima Burung digambarkan sebagai orang baik, suka perdamaian, pendiam, pemalu, sopan, tapi berubah menjadi garang, kejam dan ganas bila orang Dayak dimusuhi. 

Dalam peristiwa pembantaian di Sambas (Kalbar) sampai Sampit (Kalteng) tahun 2002, dipercaya saat itu Panglima Burung-lah yang merasuki jiwa-jiwa orang Dayak. 

Maka ketika kini muncul tokoh "Panglima Jilah" kesan yang muncul adalah personifikasi "Panglima Burung". Hanya yang sekarang ini tokohnya riel. Manusianya ada. Panglima Jilah orangnya. Nyata. Sedang Panglima Burung lebih bersifat mitos. 

Pengetahuan saya tentang Panglima Jilah sangat dangkal. Kali pertama mendengar kata "Panglima Jilah" sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu saya ke Pontianak. Jalan macet. Ternyata sedang ada apel besar Bahaupm Bide Bahana. Arti sederhananya: apel gotong royong. Lokasinya di Tariu Borneo Bangkule Rajakng, rumah adat Dayak di pusat kota Pontianak. 

Di sekitar lokasi itu suasananya serba merah. Serba Dayak. Mereka adalah Pasukan Merah di bawah pimpinan Panglima Jilah. Itulah apel dukungan Pasukan Merah untuk Jokowi. Termasuk untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara, IKN. Jokowi sendiri di apel itu mengenakan topi Dayak dengan bulu burung Enggang yang menjulang. 

Setahun kemudian Panglima Jilah bertemu Presiden Jokowi lagi: di IKN. Panglima Jilah menyampaikan harapannya agar Jokowi terus membangun Kalimantan. Tahun ini ganti Gibran yang bertemu Panglima Jilah. Lokasinya lebih istimewa: di rumah Panglima Jilah di Sambora. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan