Pertamax Oplos, Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan--
BACAKORANCURUP.COM - SAYA bisa membayangkan suasana kebatinan para karyawan grup Pertamina saat ini: tertekan. Mereka harus berhadapan langsung dengan rakyat yang merasa ditipu secara masal.
Tentu mereka tidak ikut salah. Tapi perasaan mereka pasti menderita. Mereka tidak tahu apa-apa tapi seperti tertimpa bencana. Tentu tuduhan korupsi hampir 1.000 triliun itu baru dugaan. Mayoritas karyawan juga tidak tahu: Pertamina membeli bensin Ron 90 yang dioplos dengan Ron 92 dijual sebagai Pertamax (Ron 92).
Para pengusaha pompa bensin juga tidak tahu. Sebagian besar pompa bensin Pertamina bukanlah milik Pertamina. Lebih banyak milik pengusaha kelas menengah. Mereka hanya pengecer. Bensinnya datang dari Pertamina. Mereka juga ikut tertekan: bisnis mereka menurun. Ikut disumpahi konsumen pula.
Anda sudah tahu: Pertamina dapat bensin dari dua sumber. Sekitar 60 persen dari kilang-kilangnya sendiri (Cilacap, Balongan, Balikpapan). Yang 40 persen dari pemasok swasta. Pemasok tersebut membelinya dari luar negeri, terutama Singapura.
Tidak banyak pemasok yang mampu ikut tender Pertamina. Seandainya saya diberi kesempatan pun tidak akan saya ambil. Tidak mampu. Nilai pasokan ini ratusan triliun rupiah. Pun bila hanya untuk keperluan tiga bulan.
Apalagi kalau salah satu syarat tender harus punya fasilitas stok sampai tiga bulan. Harus punya fasilitas blending. Harus punya pengalaman panjang di bidang itu. Maka ketika Petral dibubarkan sekali pun akan muter-muter di situ juga. Di orang itu juga.
Kita belum tahu: apakah bensin hasil kilang Pertamina (Ron 90) langsung disalurkan ke pompa-pompa bensin sebagai Pertalite. Lalu yang dari pemasok swasta dijual sebagai Pertamax (Ron 92). Atau sebagian produksi kilang Pertamina itu juga ada yang dicampur dengan Ron 95 impor: jadi Ron 92 dan dijual sebagai Pertamax.
Pertamina baru akan punya kilang yang bisa memproduksi bensin Ron 92 sebentar lagi. Proyek kilangnya sedang diselesaikan. Di Balikpapan. Yakni kilang lama yang dipermodern. Diperbesar. Menjadi lebih besar dari Balongan. Harusnya Jokowi yang meresmikannya.
Tapi proyek ini kasihan: kena Covid-19. Tidak bisa beroperasi sesuai target: 2024.
Mungkin baru selesai tahun depan. Kontraktornya Hyundai, Korea. Biayanya Rp 60 triliun. Itu sebelum Covid. Juga sebelum ada aturan TKDN --harus menggunakan komponen produksi dalam negeri sampai 30 persen. Indonesia memang sudah bisa memproduksi sebagian pipa yang diperlukan proyek kilang itu. Hanya harganya lebih mahal.
Terjadilah kenaikan harga proyek. Apalagi juga ada penambahan pekerjaan. Itu normal. Proyek selalu seperti itu. Masalahnya kenaikan harga itu mencapai lebih Rp 15 triliun. Lalu muncul persoalan baru. Sebetulnya tidak baru. Begitulah proyek besar.
Tapi siapa yang harus bertanggung jawab atas kenaikan nilai proyek sebesar itu. Pertamina --sebagai pemilik proyek? Kontraktor --yang memenangkan tender? Di swasta yang seperti ini mudah diselesaikan: dirundingkan.
Di BUMN itu tidak mudah. Harus minta persetujuan dewan komisaris. Dewan komisaris takut menyetujui. Takut dituduh korupsi. Masih juga harus minta persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Bukan hanya tidak mudah. Rumit. Padahal kontraktor harus menyelesaikan proyek. Kalau kontraktornya tidak kuat proyek pasti macet.