Mbak Titiek, Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan--
BACAKORANCURUP.COM - Begitu ingin saya menulis in memoriam untuk legenda Titiek Puspa. Saya memanggilnya: Mbak Titiek.
Stasiun radio bisa mengenangnya dengan memutar lagu-lagunya sepanjang hari. Media televisi bisa menayangkan dokumentasi film-filmnya.
Saya? Hanya bisa menulis. Tapi harus punya bahan. Saya tidak punya.
Memang saya kenal beliau, tapi belum tentu beliau kenal saya. Kalau pun pernah beberapa kali bertemu beliau, tapi beliau belum tentu masih ingat saya.
Pertemuan terakhir kami sekitar tiga tahun lalu: di saat ada pandemi Covid. Itu pun dalam satu acara di forum online. Sebelum itu saya bertemu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saat saya akan menonton musikal Laskar Pelangi. Kami ngobrol di lobi teater tertutup sebelum pertunjukan dimulai.
Saya pun ikuti medsos. Banyak yang sudah menulis tentang almarhumah. Harusnya saya minta tolong perusuh baik Mirwan Mirza. Agar ia menulis lebih panjang tentang Mbak Titiek. Rasanya ia punya banyak bahan yang tidak dimiliki para penggiat medsos. Buktinya ia tahu kebiasaan Mbak Titiek sedang menyapu halaman. Dua bulan sebelum Mbak Titiek meninggal dunia hari Kamis lalu. Dalam usia 86 tahun. Bertetangga?
Tentu ada jalan kalau memang sungguh-sungguh ingin menulis tentang almarhumah. Tapi dua hari terakhir saya hampir tidak punya waktu kosong. Memang saya punya nomor telepon Mbak Titiek, tapi tidak mungkin lagi menelepon dan mewawancarai almarhumah.
Maka saya sempat menyesali diri: kenapa tidak bisa menyanyi. Kenapa tidak bisa seperti perusuh yang tinggal di Swedia atau Denmark itu: Milwa?. Kenapa saya diberi suara cempreng --seperti piring seng yang dipukul sendok bebek. Lalu saya sadari: setiap orang punya kelebihan sendiri-sendiri. Saya diberi kelebihan bisa menulis.
Kalau ditanya pilih mana: punya kelebihan menulis atau menyanyi, saya sulit menjawab. Paling saya pilih bisa menulis dan menyanyi. Tapi pilihan seperti itu tidak ada.
Apa pun Mbak Titiek harus dikenang. Dia satu-satunya seniman kita yang punya kemampuan di banyak hal, terutama dalam menyanyi dan menciptakan lagu.
Yang paling saya sukai adalah: Kupu-Kupu Malam. Lagu itu begitu manusiawi. Apa adanya. Begitu menggugat.
Saya mencoba ingin mengenang Mbak Titiek dengan cara menyanyikan lagu itu. Tidak berhasil. Tidak bisa. Tidak hafal satu pun kalimat dalam syairnya. Istri saya yang lantas mewakili suami.
Lagu lain yang saya tahu adalah: Bing. Yakni lagu yang dia ciptakan saat seniman besar Betawi, Bing Slamet meninggal dunia. Mbak Titiek begitu hebat dalam mengenang Bing di dalam lagunyi. Saya masih belum tahu adakah pencipta lagu dan penyanyi lain yang kini ganti menciptakan lagu untuk Mbak Titiek.
Saya juga ingat setiap Lebaran Mbak Titiek membuat operet Lebaran. Tampil di TVRI. Pelakunya para penyanyi cilik di zamannya. Dia sendiri yang jadi sutradara dan penulis skenario. Dia juga yang melatih para pelaku operet itu.