Poo Cendana, Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan--

"Kenapa pilih dikremasi tanggal 7 Mei?”

"Itu hari ulang tahun perkawinan Papa dan Mama," ujar Karuna. Ulang tahun ke-53. Sekaligus berdekatan dengan hari bakti sosial tanggal 10 Mei dan hari raya Waisak tanggal 12 Mei.

Setiap menjelang Waisak Hartati memang selalu berada di Borobudur. Acara sangat besar dia laksanakan di situ.

Sambil menunggu hari kremasi, pihak keluarga mengurus izin ke kementerian kebudayaan. Sudah dapat. Juga ke instansi lain. Sekitar 20 tahun lalu pernah juga diizinkan kremasi di dekat Borobudur –tapi bukan di area Borobudur. Yakni ketika seorang ulama besar Buddha meninggal dunia.

Lokasi kremasi Pak Poo nanti juga bukan di area milik Borobudur. Hartati sudah membeli beberapa petak sawah di dekat Borobudur. Salah satunya ada yang luasnya 5.000 meter.

Selama ini sawah-sawah tersebut ditanami padi. Hasilnya diambil oleh penggarap. Ketika Pak Poo meninggal padi di sawah tersebut sudah menguning. Sudah waktunya panen.

Di sawah itulah, menurut rencana, kremasi dilakukan. Di seputar apinya akan didirikan tribun untuk sekitar 1500 pendoa dari berbagai aliran Buddha. Termasuk ratusan orang dari Taiwan dan Thailand. Doa-doa itu dipanjatkan dalam pengaruh wibawa Borobudur yang terlihat dengan sangat dekatnya.

Saya dengar hanya kayu-kayu khusus yang dipakai untuk membakar jenazah Pak Poo. Yakni kayu cendana. Akan sangat harum baunya –akan tercium oleh Candi Borobudur yang memberkatinya.

Di antara banyak orang di aula vihara itu terlihat ada satu yang berwajah India. Bajunya biru. Ia adalah salah satu dari empat perawat Pak Poo selama sekitar delapan bulan sakit di Singapura.

Empat perawat itu satu berdarah India, satu Tionghoa, satu Melayu, dan satunya lagi campuran Tionghoa-Melayu. Mereka sudah seperti keluarga sendiri.

Sehari sebelum meninggal, Pak Poo sudah tahu umurnya hanya tinggal hitungan jam. Menjelang tengah malam, satu perawat yang paling disayang harus pulang. Diganti perawat lain.

Saat si perawat pamit, Pak Poo bilang mungkin segera meninggal. "Tahan," kata perawat itu, "tunggu sampai saya bertugas lagi besok pagi," katanyi.

Lewat tengah malam Pak Poo kritis. Empat anaknya dipanggil ke rumah sakit. Tekanan darahnya terus menurun. Obat penahan tekanan darah itu sudah tidak mungkin lagi dinaikkan. Pak Poo diberi tahu obat untuk menaikkan darah sudah mentok di batas atas. Memang masih bisa dinaikkan tapi akan berakibat fatal: pembuluh darah di otaknya akan pecah semua. Obat untuk menaikkan tekanan darah itu sudah diberikan 40 kali lebih tinggi dari yang semestinya.

Pak Poo pun tahu saatnya tidak lama lagi. Istri dan anak sudah kumpul. Pak Poo pun pingsan. Koma.

Pagi pun menyingsing. Matahari kian tinggi. Si kesayangan sudah kembali bertugas merawat Pak Poo.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan