Sholat Tarawih Sebaiknya 11 Rakaat atau 23 Rakaat?
ist Ilustrasi Sholat Tarawih.--
Curupekspress.bacakoran.co - Sholat Tarawih merupakan ibadah selama bulan Ramadhan yang dilakukan setelah sholat Isya.
Seringkali menjadi pertanyaan, apakah sholat Tarawih 11 rakaat atau 23 rakaat yang harus dilakukan?
Dikutip dari laman resmi NU Online, di tanah air Indonesia ada dua ormas terbesar yang menjadi sorotan dari perbedaan jumlah rakaat tarawih yang dilaksanakan, yakni Muhammadiyah dengan 11 rakaat dan Nahdlatul Ulama (NU) dengan 23 rakaat. Perbedaan tersebut sebenarnya sudah ada sejak zaman ulama dahulu.
Dalam buku Ke-NU-an Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah terbitan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama DI Yogyakarta, disebutkan Ibnu Hajar al-Asqalaniy menerangkan bahwa para ulama ada yang menetapkan 11, 13, 21, 23, 39, 41 dan 47 rakaat, sekalian dengan shalat witirnya.
(Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathu al-Bariy, juz IV, halaman 296).
Berkaitan dengan jumlah tarawih, Imam Syafi’i menerangkan: “Saya melihat orang-orang Madinah mengerjakan 39 rakaat dan orang-orang Makkah mengerjakan 23 rakaat".
Dan ini tidak ada masalah apapun (boleh-boleh saja).
Imam An-Nawawi menjelaskan, para ulama bersepakat bahwa hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunah, dan jumlahnya adalah 20 rakaat dengan setiap dua rakaat satu salam. Dan andaikata ada yang memilih jumlah rakaat yang berbeda, hal ini bukan sesuatu yang masalah.
Sementara itu, dikutip dari laman resmi Universitas Muhammadiyah Jakarta, Muhammadiyah menetapkan ibadah salat tarawih berjumlah 11 rakaat.
Hal itu dijelaskan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA., saat sesi wawancara setelah Pengkajian Tarhib Ramadan 1445H di Masjid Attaqwa dijelaskan bahwa Muhammadiyah menetapkan ibadah tarawih 11 rakaat berdasarkan hadis sahih yang diriwayatkan Aisyah ra.
وَعَنْهَا ، قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَزِيْدُ – فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ – عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً : يُصَلِّي أرْبَعاً فَلاَ تَسْألْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أرْبَعاً فَلاَ تَسْألْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاثاً. فَقُلتُ: يَا رسولَ اللهِ ، أتَنَامُ قَبْلَ أنْ تُوتِرَ؟ فَقَالَ: (( يَا عَائِشَة، إنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah (baik dalam bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan Lainnya) dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya rakaat tersebut. Kemudian beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan bagusnya dan panjangnya rakaat tersebut. Lalu beliau shalat tiga rakaat. Maka aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Aisyah, sesungguhnnya mataku tidur tetapi hatiku tidak.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1147 dan Muslim, no. 738)
“Hadis ini sahih, tidak ada perawi yang mendaifkan. Itu dasar pertama. Dasar kedua yaitu ketika Umar bin Khaththab ra., menertibkan salat tarawih di Masjid Madinah,” ujarnya.
Syamsul menjelaskan bahwa pada masa Umar ra., diangkat imam tetap untuk salat tarawih yaitu Ubay bin Kaab dan memerintahkannya untuk melakukan salat tarawih 11 rakaat. Jadi, kedua dasar itu sangat jelas untuk menjadi alasan kuat pelaksanaan salat tarawih.