BACAKORANCURUP.COM - Sebagai seorang bocah berusia delapan tahun, Pirun Kla-Talay menjadi yatim piatu akibat tsunami Samudera Hindia pada 2004. Kini, ia menggantungkan hidupnya pada laut yang pernah merenggut kedua orang tuanya.
Setiap pagi, nelayan asal distrik Bang Wa itu berlayar dengan perahu merah kuningnya. Lalu menjual hasil tangkapannya di pasar lokal di Thailand selatan.
Bagi para penyintas tsunami 2004, laut adalah simbol yang menyimpan keindahan sekaligus duka.
"Laut membuat saya sedih dan bahagia sekaligus," ujar Pirun yang kini berusia 28 tahun itu. Saat melihat laut Pirun ingat bagaimana gelombang besar merenggut orang tuanya. Laut pun yang membentuknya menjadi kuat seperti sekarang.
Foto yang diambil pada 19 November 2024 ini menampilkan Pirun Kla-Talay (kiri) bersama istrinya, Janjira (kanan), duduk di bawah potret almarhum kedua orang tuanya, Sanoh dan Jam Kla-Talay, yang menjadi korban tsunami 2004. --AFP
Pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,1 magnitudo memicu tsunami dahsyat. Dan gelombang tsunami itu menghancurkan komunitas pesisir di Thailand, Indonesia, India, Sri Lanka, dan Maladewa. Dan menjadikannya sebagai gempa sekaligus tsunami terkuat yang pernah terjadi.
Lebih dari 225.000 orang meninggal dunia. Permukiman lenyap. Di Thailand, lebih dari 5.000 orang dinyatakan tewas secara resmi—sekitar setengahnya adalah turis asing—dan 3.000 lainnya dinyatakan hilang.
Saat itu Pirun sedang mengamati burung ketika suara aneh memecah keheningan. "Sebagai anak pulau, saya tahu suara ombak," ujarnya. "Tapi ini berbeda," tambahnya
Pirun segera berlari memberi tahu tetangga agar naik ke tempat yang lebih tinggi. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan ngeri saat gelombang raksasa melahap segalanya.
BACA JUGA:Hukuman Harvey Moeis Terlalu Ringan
"Saya pikir saya tidak akan selamat," kenangnya. Rumahnya yang dekat pantai hancur. Kedua orang tuanya tewas. Pirun yang dulu mencintai laut kini diliputi ketakutan. Ia mengalami insomnia. Sering terbangun di malam hari karena suara ombak.
Pirun diasuh oleh bibinya. Mereka juga meninggalkan rumah mereka di Pulau Phra Thong menuju Bang Wa di daratan utama. Tempat ia mulai membangun kembali hidupnya.
Antara 1.000 hingga 2.000 anak di Thailand kehilangan setidaknya satu orang tua akibat tsunami. Itu disampaikan oleh layanan informasi kemanusiaan Relief Web dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Watana Sittirachot adalah salah seorang penyitas tsunami 2004 yang kini berusia 32 tahun. Ia kehilangan pamannya yang merawatnya sejak kedua orang tua Watana bercerai.