Istri Sekampung, Oleh: Dahlan Iskan

Senin 26 May 2025 - 18:02 WIB
Reporter : Gale
Editor : radian
Istri Sekampung, Oleh: Dahlan Iskan

Ayah Adi ternyata seorang dosen. Ibunya alumni IKIP Malang. Sang ayah arsitek lulusan ITS Surabaya. Lalu menjadi dosen di fakultas arsitektur Universitas Kristen Petra. 

Saat Adi baru berusia dua tahun ayahnya dapat beasiswa ke Sydney Australia. Itu beasiswa dari UK Petra untuk S-2. Adi diajak serta. Pun adik laki-lakinya yang baru berusia satu tahun. 

Maka Adi masuk SD-nya di Sydney. Saat pulang ke Surabaya ia balik masuk TK. Ia harus belajar bahasa Indonesia. Di SD dan SMP nilai Adi istimewa. Ia juga jadi ketua OSIS. Itulah modalnya untuk masuk SMA. Ia ingin masuk SMA yang sama: Frateran. Di belakang SMA Ta'miriyah milik NU. 

Adi gagal ke SMA Frateran. Uang masuknya mahal. Orang tuanya sudah berjuang untuk dapat keringanan: keluarga dosen tidak punya uang sebanyak itu. 

Perjuangan sang ibu gagal. Alasannya: tidak mungkin seseorang yang tinggal di Dharmahusada tidak punya uang. Dharmahusada adalah daerah elite di Surabaya sebelum ada yang lebih elite: Kertajaya Indah, Citraland, Pakuwon, dan Graha Family. 

Akhirnya Adi diterima di SMA St Louis 1 Surabaya. Gratis. Nilai istimewa Adi jadi setoran uang masuknya. 

Saya pun bertanya: bagaimana tinggal di Dharmahusada tidak mampu bayar uang muka yang diminta. Ternyata rumah orang tuanya itu di Dharmahusada bagian luarnya. Awalnya hanya tanah kapling: pemberian orang tua mereka. 

Saat di SMA itu Adi membaca buku milik salah satu sepupu yang tertinggal di rumahnya. Buku teknik mesin. Sejak itulah Adi terinspirasi untuk kelak kuliah di teknik mesin. 

Cita-citanya tinggi: masuk MIT di Amerika. Papa-mamanya pun mendorongnya menjadi yang terbaik. Tapi masuk MIT mahal. Adi cari yang gratis: Jerman. Modalnya: nilai SMA Adi yang istimewa. Juga satu tiket pesawat untuk berangkat tanpa tiket pulang. 

Cerita setelah itu Anda bisa pindah ke podcast. 

Kami pun tiba di Greensburg. Maya sibuk di dapur. Suami Maya, bule Indiana, sampai ikut jadi pelayan. Banyak tamu di Sabtu petang itu. 

Kami makan sate ayam, nasi, gado-gado, dan rendang. Ternyata Maya menyajikan juga steak daging dari peternakannya sendiri. Steak ukuran Amerika. Lezat. Habis. 

Sebelum pulang Adi membeli keripik tempe. ''Maya Tempeh''. Tempenya buatan Maya sendiri. Kedelainya dari ladangnya sendiri. Adi membawa keripik itu ke Indianapolis. Tidak hanya Adi. Pengunjung resto yang lain juga banyak yang pulang bawa keripik. 

Saya berjanji menemui Adi di arena balap. Tiket saya jenis yang bisa masuk ke paddock. Balik ke Indianapolis saya mencoba bicara pakai bahasa Mandarin dengan Adi. Gagal. Ternyata Adi tidak bisa berbahasa Mandarin. 

Adiknya yang bisa. Sang adik juga lulusan Jerman. Arsitek. Kini bekerja di BMW. Sang adik beberapa tahun terakhir tinggal di Shenyang, ibu kota Liaoning. BMW lagi bangun pabrik di Shenyang. Proyek selesai balik ke Jerman. 

Kenapa tidak bisa Mandarin? "Saya sudah generasi keenam," katanya. "Nama Tionghoa saya pun baru dicarikan saat mau menikah. Itu pun karena diharuskan," ujar Adi. 

Kategori :

Terkait

Jumat 15 Aug 2025 - 18:47 WIB

Demo Sengkuni, Oleh: Dahlan Iskan

Kamis 14 Aug 2025 - 19:28 WIB

Tiga Proposal, Oleh: Dahlan Iskan

Rabu 13 Aug 2025 - 22:31 WIB

Petir Joao, Oleh: Dahlan Iskan

Selasa 12 Aug 2025 - 21:47 WIB

Tanpa Pilwali, Oleh: Dahlan Iskan

Senin 11 Aug 2025 - 21:39 WIB

Perusuh Bahagia, Oleh: Dahlan Iskan