Dengan DPRD, kandidat akan diseleksi berdasarkan program dan rekam jejak, bukan popularitas atau duit. Ini juga dianggap bisa mengurangi konflik sosial yang kerap muncul akibat persaingan ketat di pilkada.
Di samping itu, usulan ini dipicu oleh putusan MK yang memisahkan pemilu nasional (presiden dan legislatif) dari pilkada. PKB melihat pemilihan oleh DPRD sebagai cara menyederhanakan proses pemilu lokal tanpa mengorbankan kedaulatan rakyat.
“Putusan MK mendorong kita pikir ulang sistem yang lebih efisien,” timpal Khozin.
Dulu Dukung Pilkada Langsung, Kok Sekarang Berubah?
Flashback ke era Reformasi 1998, PKB, bersama PDI-P, Golkar, dan Demokrat, adalah pendukung utama pilkada langsung.
Saat itu, pilkada langsung dianggap sebagai wujud kedaulatan rakyat, memutus sentralisasi kekuasaan Orde Baru di mana kepala daerah ditunjuk pemerintah pusat atau dipilih DPRD.
PKB, di bawah Cak Imin, getol mendorong demokrasi lokal agar masyarakat bisa langsung memilih pemimpin seperti Joko Widodo di Solo (2005) atau Ahok di Jakarta (2012).
Lalu, kenapa berbalik arah? PKB mengevaluasi bahwa setelah 20 tahun, pilkada langsung punya kelemahan serius.
Biaya Selangit, jadi salah satu perhatiannya. Dana triliunan untuk pilkada sering kali tidak sebanding dengan hasilnya, apalagi kalau calon terpilih gagal memenuhi janji kampanye.
Kemudian terkait politik uang merajalela. Banyak kasus suap dalam pencalonan atau kampanye, seperti yang diawasi Kejagung di Pilkada 2024, menunjukkan kerentanan sistem.
Lebih lanjut, terkait polarisasi masyarakat. Persaingan ketat kerap memicu konflik, seperti di Pilkada DKI 2017 yang memanaskan sentimen agama dan etnis.
Kontroversi dan Tanggapan Publik
Usulan PKB langsung memicu pro dan kontra. Zainuddin Maliki, anggota Komisi II DPR, mendukung, menyebut sistem ini lebih hemat dan tetap demokratis.