Marganas pindah ke DPRD. Ada sidang pleno di lembaga wakil rakyat itu.
Marganas menjelaskan apa adanya: berita itu ditulis dengan niat baik menyiarkan acara Maulid Nabi. Wartawan yang menulis beritanya pun beragama Islam.
Kesalahannya benar-benar tidak disengaja. Wartawan salah pencet keyboard N.
Berita itu dikirim lewat internet ke redaktur di Siantar. Redakturnya tidak sempat koreksi. Koran harus cepat dicetak. Pukul 23.00 harus dikirim ke Sibolga. Agar pukul 06.00 Harian Metro Tapanuli sudah sampai di agen-agen di Sibolga nan jauh.
Alasan itu tidak bisa diterima. Massa tetap menuntut Metro Tapanuli ditutup. DPRD pun memutuskan begitu. Marganas pilih jalan bijaksana: bersedia menutup Metro Tapanuli.
Selesai.
Marganas kembali ke Siantar.
Keesokan harinya Metro Tapanuli tidak terbit. Kebebasan pers begitu terkekang, pun setelah Orde Baru.
Sampai di Siantar, Marganas rapat: apa yang harus dilakukan. Metro Tapanuli harus tidak terbit. Tapi koran harus tetap terbit.
Pakai nama lain.
Diputuskanlah nama baru: New Tapanuli.
Susunan redaksinya sama.
Wartawannya sama.
Pimpinannya sama.
Agennya sama.
Pelanggannya sama.