Tidak kangen komentator?
Tentu saya kangen dengan komentar seperti dari Bung mBediun. Ia lama tidak muncul. Tanpa pamit pula. Semoga ia sudah bahagia di sana --entah di mana dengan siapa.
Satu hilang seribu terbilang. Bahkan kian tahun rasanya kian banyak komentar yang bermutu. Sampai sulit memilihnya.
Kadang terpikir juga: komentar pilihan saya terlalu banyak. Ada yang sampai 39. Rata-ratanya saja sekitar 25 --angka pastinya tunggu jurnal resmi dari Bung Fiona.
Tentu saya tidak pernah menetapkan harus berapa yang dipilih. Berapa saja. Toh berapa pun tidak menambah biaya. Beda dengan di koran dulu --perlu kertas tambahan.
Yang saya kaget: kok ada komentar yang dengan benar menebak apa latar belakang saya memilih komentar itu, itu dan itu.
Ada yang karena benar-benar bermutu, karena lucu, karena menghormati karya sastra (puisi dan pantun), karena unik dan juga karena kesal hahaha.
Apa pun langkah saya, kelihatannya memang sudah bisa ditebak. Termasuk mengapa saya suka durian mahal: karena gratis!
Beda dengan Gaza, pembaca tampaknya paham mengapa saya menghindari politik. Tidak satu pun tulisan mengenai debat capres/cawapres
. Justru ada yang berkomentar: tidak perlu saya ikut-ikutan menulis soal politik. Sudah terlalu banyak info soal itu. Bahkan berlebihan. Sampai inflasi. Tumpah ruah. Banjir bandang.
Lima hari lagi kita berulang tahun.
Tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas tidak mungkin dirayakan di stadion Gelora Bung Karno