. Sejak itu saya konsumsi vitamin D 5000iu tiap hari. Level vitamin D saya pun sekitar 60 sekarang ini.
Tapi D-dimer saya tetap saja tinggi: 1.600. Sudah mencoba banyak cara belum berhasil juga.
Waktu sakit perut lebih susah: badan lemes, pikiran sulit konsentrasi. Tapi keharusan menulis hari itu mengalahkan semua itu.
"Apakah tulisan saya di tahun pertama dan di tahun keenam ini masih sama?"
"Berubah," jawab Jto. "Sekarang lebih banyak variasinya. Pembaca lebih senang," tambahnya. "Dulu terlalu serius," katanya lagi.
Selama enam tahun itu rasanya hanya dua atau tiga kali saya sangat frustrasi: sampai ingin sekali berhenti menulis.
Frustrasinya muncul malam hari --mendekati pukul 21.00. Itulah jam deadline saya: sudah harus kirim naskah ke admin.
Dua atau tiga kali itu saya belum menemukan ide tulisan. Padahal sudah mendekati pukul 21.00. Judeg. Buntu. Mondar-mandir. Tetap buntu.
Lalu muncul pertanyaan: kenapa sih harus menulis? Kenapa harus menyiksa diri seperti ini? Apa salahnya sesekali tidak menulis? Siapa sih yang mengharuskan? Kan tidak ada?
Sulitnya lagi saya harus menjaga mutu tulisan. Satu tulisan harus memenuhi kaidah '’rukun iman'’ yang saya tentukan.
Kalau mudah bersikap menurunkan mutu tulisan itu berbahaya: akan menjadi kebiasaan. Buruk sekali.
Itu sulit: mempertahankan mutu.
Apalagi kian lama ruang gerak saya juga kian sempit. Saya tidak bisa lagi menulis tentang Donald Trump.
Mengapa? Komentator seperti Bung Mirza sudah menuliskannya dengan baik. Cepat pula. Kadang justru saya yang kalah cepat.
Bung Mirza juga sangat membantu saya soal perang di Gaza. Saya merasa tertohok ketika ada komentar yang mengkritik: kok saya belum juga menulis tentang perang di Gaza.
Jujur: saya sulit mencari bahan yang bermutu. Maka ketika Bung Mirza menulis panjang tentang Gaza saya pun horeee... Langsung saya masukkan komentar pilihan.