“Adapaun penambahan-penambahan itu (jumlah rakaat salat tarawih) dilakukan setelah zaman Khulafaurrasyidin. Ada pula hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah salat 20 rakaat. Hadis itu daif,” ungkapnya.
Hal itu dikuatkan dengan kesaksian Aisyah ra., pada hadits pertama di atas bahwa Rasul tidak pernah salat malam pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya lebih dari 11 rakaat.
Sementara itu terkait dengan fenomena umat muslim pada umumnya di Indonesia yang memilih shalat 11 rakaat di masjid yang imam shalat tarawihnya menetapkan 23 rakaat, Syamsul menjelaskan bahwa itu tidak masalah.
Umat muslim yang memilih salat delapan rakaat berjamaah di masjid, dan witir di rumah untuk mengganjilkan shalat malam, jelas Syamsul, itu tidak masalah dan diperbolehkan.
“Itu silakan saja, karena shalat tarawih bisa dikerjakan di rumah atau di rumah,” ujarnya.
Begitupun dengan shalat tarawih dan tahajud. Beberapa orang mungkin pernah melakukan shalat tarawih kemudian shalat tahajud.
Terkait hal ini, Syamsul kembali mengingatkan pada hadis pertama di atas bahwa Rasul tidak pernah shalat malam lebih dari 11 rakaat.
“Untuk mencari pahala sebanyak-banyaknya, maka dapat dilakukan dengan memanjangkan salat. Sebagaimana hadits riwayat Muslim أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنُوتِ bahwa seafdol-afdol salat itu yang qunutnya panjang. Qunut di sini dalam arti berdiri. Lama berdirinya itu karena ayat yang dibaca banyak,” jelas Syamsul.