Gelap Cahaya, Oleh: Dahlan Iskan

Jumat 18 Oct 2024 - 17:53 WIB
Reporter : Gale
Editor : Radian

Maka di remang-remang cahaya itu kami menuju arah imam biasa memimpin salat. Saya minta Alwi yang jadi imam. Alwi justru memaksa saya jadi imam. Terjadilah saling paksa. 

Akhirnya saya bisiki telinga Alwi: "Anda saja yang jadi imam. Saya baru saja murtad". 

Alwi pun tersenyum. Saya langsung mengumandangkan iqamah. Serasa Novi Basuki lagi jadi imam di depan saya. 

Rupanya teman yang Buddha dan Kristen tadi mengabadikan kami salat. Entah dari mana mereka dapat cahaya. Sebenarnya ada satu teman lagi yang bisa dipaksa jadi imam: Moh Khodir. Ia, dulu, guru bahasa Mandarin Alwi di pondok Nurul Jadid. Juga guru mandarinnya Novi Basuki. Khodir kini lagi di Fuzhou: menyelesaikan S-3. Ia calon doktor di bidang kurikulum.

 

Khodir adalah generasi pertama santri Nurul Jadid yang bisa bahasa Mandarin. Juga asli Probolinggo. Juga suku Madura pendalungan. Juga rendah hati dan menjaga sopan santun yang tinggi.  

"Di sini bisa menyelesaikan S-3 selama tiga tahun dianggap pintar. Kalau empat tahun dianggap kurang pandai," ujar Khodir. "Saya sudah empat tahun belum selesai," tambahnya. 

Apakah disertasinya nanti juga ditulis dalam bahasa Mandarin? 

"Akan saya tulis dalam bahasa Inggris," ujar Khodir. "Pembimbing saya yang minta," tambahnya. 

Sebenarnya ia lebih suka menulis disertasi dalam bahasa Mandarin. Tapi universitasnya ingin meningkatkan rating internasionalnya. 

Caranya: menghasilkan lebih banyak penelitian yang ditulis dalam bahasa Inggris. "Calon doktor mahasiswa Tiongkok sendiri didorong untuk menulis disertasi dalam bahasa Inggris," ujar Khodir. 

Masjid Fuzhou ini memang berbeda dengan banyak masjid di Tiongkok. Di Beijing maupun Tianjin, masjidnya berada di tengah komunitas Tionghoa suku Hui. Suku Hui itu Islam semua. Masjidnya ramai. Di sekitar masjid penuh dengan resto halal. Enak-enak. Satenya. Huo kuo-nya. Mie dagingnya. 

"Hanya kalau Jumat masjid ini ramai. Muslim dari mana-mana datang ke sini," ujar Alwi. 

Usai salat magrib kami kumpul lagi di resto ''Bandung''. Resto masakan Indonesia ini sudah punya enam cabang di Xiamen dan Fuzhou. Setelah makan dan omon-omon, guru asal Surabaya tampil. Ia guru piano di Xiamen. Tidak ada piano di resto itu. Ia sudah merekam suara piano yang ia mainkan. Itu untuk mengiringi istrinya, asal Heilongjiang, yang akan tampil menyanyi. Dia menyanyikan Bengawan Solo. Lalu Rayuan Pulau Kelapa. 

"Sudah bisa berbahasa Indonesia?" tanya saya dalam Mandarin. 

"Sedikit-sedikit," katanyi. "Mandarin Anda jauh lebih baik dari suami saya," ganti dia menyela. 

Kategori :

Terkait

Sabtu 15 Feb 2025 - 17:52 WIB

Luhut Luhut, Oleh: Dahlan Iskan

Kamis 13 Feb 2025 - 19:34 WIB

Danantara 1.000 T, Oleh: Dahlan Iskan

Rabu 12 Feb 2025 - 21:46 WIB

Tangan Danantara, Oleh: Dahlan Iskan

Senin 10 Feb 2025 - 19:12 WIB

Dewan Langitan, Oleh: Dahlan Iskan

Minggu 09 Feb 2025 - 21:09 WIB

Piring Kembar, Oleh: Dahlan Iskan