Kesaksian serupa juga dicatat oleh ahli botani Belanda, Rumphius, dalam Herbarium Amboinese (1741), yang menyebut sukun sebagai buah serbaguna dengan potensi menyelamatkan orang dari kelaparan.
Pada 1775, James Cook, dengan dukungan ahli botani Joseph Banks, mulai meneliti sukun untuk menyebarkannya ke koloni Inggris sebagai bahan pangan. Riset mengonfirmasi bahwa sukun adalah tanaman bernutrisi tinggi, sehingga Raja George III menyetujui program penanamannya.
Bibit sukun kemudian dibawa dan ditanam di Karibia, Amerika Tengah, serta koloni-koloni Inggris lainnya. Dari sana, bibitnya menyebar ke Afrika, Asia, dan wilayah lain, menjadikan sukun buah yang dikonsumsi secara global.
Sukun: Super food dan Solusi Krisis Pangan
Awalnya, manfaat nutrisi sukun hanya berdasarkan pengamatan empiris tanpa bukti ilmiah. Namun, seiring waktu, riset modern membuktikan klaim tersebut.
Departemen Kesehatan AS menyebut sukun kaya akan vitamin C, potasium, magnesium, serat, serta rendah lemak dan gula.
Karena kandungan nutrisi dan kemampuannya tumbuh cepat dengan perawatan minim, sukun dianggap sebagai super food.
Kini, pohon sukun dilihat sebagai solusi potensial menghadapi krisis pangan global akibat perubahan iklim.
Sifatnya yang adaptif dan tahan cuaca ekstrem membuat sukun mudah dibudidayakan di luar habitat aslinya di Indonesia. Tak heran, pohon sukun kini tersebar luas dan menjadi bagian penting dalam upaya mengatasi ancaman "kiamat" pangan.