
“Banyak kasus kecelakaan lalu lintas melibatkan anak-anak remaja, bahkan yang belum cukup umur. Usia 17 tahun dianggap sebagai usia minimum karena di titik ini, individu sudah bisa membedakan mana yang aman dan mana yang berisiko. Mereka juga sudah mendapat pendidikan formal yang membentuk kemampuan kognitif yang lebih baik,” ujar Jusri.
Ia menambahkan bahwa pembatasan usia dalam kepemilikan SIM bukan hanya diberlakukan di Indonesia, tetapi juga menjadi standar umum di berbagai negara. Negara-negara tersebut menyadari pentingnya aspek psikologis dan kognitif dalam aktivitas mengemudi, terutama dalam menghadapi dinamika lalu lintas yang kompleks dan berisiko.
Langkah Gubernur Dedi Mulyadi ini diharapkan mampu menjadi pemantik perubahan perilaku, tidak hanya di kalangan pelajar, tetapi juga di lingkungan keluarga dan sekolah.
Peran aktif orang tua dan pendidik sangat dibutuhkan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai keselamatan berkendara, serta mendorong anak-anak mereka untuk patuh terhadap hukum dan tidak terburu-buru membawa kendaraan sebelum waktunya.
Kebijakan ini juga mengajak masyarakat luas untuk lebih peka terhadap keselamatan di jalan raya. Mengemudi bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga tentang tanggung jawab, etika, dan kepatuhan terhadap aturan hukum. Pelajar sebagai generasi penerus bangsa perlu dibekali dengan pemahaman tersebut sejak dini.