BENGKULU - Saksi Edi selaku Project Manager PT BKN memberi kesaksian dalam kasus sidang lanjutan kasus korupsi proyek Asrama Haji tahap I Kantor Wilayah Kementrian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Bengkulu tahun anggaran 2020. Jalannya sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu, Selasa 16 Januari 2024.
Saksi mengklaim sebagai Project Manager. Tetapi setelah sampai di Bengkulu tugas dia tidak sebagai Project Manager, tetapi hanya sebagai pelaksana engginering.
BACA JUGA:APK Bertebaran di Danau Dendam Tak Sudah
Terkait dengan fisik proyek, Edi membenarkanya banyak sekali masalah sehingga proyek tidak selesai. Mulai dari tidak ada material, tidak ada dana sehingga tidak bisa dilanjutkan. Padahal Edi sudah berusaha meminta dana dengan dua terdakwa tetapi tidak dipenuhi.
"Bangunan sebesar itu hanya diselesaikan selama 3 bulan. Itu hal yang mustahil, tidak serius dijalankan proyek tersebut. Pengangkatan saya sebagai project manager terkesan tidak serius, padahal jabatan tersebut cukup mentereng di situ. Pada kenyataannya, di lapangan secata teknis saya hanya sebagai pelaksana engginering," jelas Edi dihadapan JPU Kejaksaan Tinggi Bengkulu yang juga turut menghadirkan tiga orang saksi ahli, yakni Riko Pratama saksi ahli dari BPKP, Sybly saksi ahli Grafologi dan Juni Irawati saksi ahli LKPP. Dalam kasus tersebut, terdakwa juga memalsukan tanda tangan. Ada dua dokumen dan 5 tanda tangan yang dipalsukan.
Dokumen dan tanda tangan yang dipalsukan itu terkait untuk adiministrasi dan pencairan dana. Proyek fisik baru mencapai 16 persen, tetapi terdakwa membuat dokumen proyek telah mencapai 21 persen. Tujuan dibuat dokumen tersebut agar termin pertama bisa cair.
"Dari uji forensik yang dilakukan, tanda tangan tersebut terdapat kesesuaian tinggi atau identik dengan tanda tangan pembanding, tetapi tidak identik karena ditemukan adanya copy paste," jelas saksi ahli Grafologi, Slybly.
Sementara itu, saksi ahli dari BPKP, Riko Pratama menyebut, kerugian negara proyek asrama haji tahap 1 sebesar Rp 1,2 miliar.
Jumlah tersebut berdasarkan audit dan pemeriksaan yang dilakukan BPKP terhadap semua pihak yang terlibat pada proyek tersebut.
Kerugian negara ditimbulkan dari kekurangan fisik bangunan, hanya mencapai progres 16 persen. Bahkan PT BKN selaku kontraktor sebenarnya tidak memenuhi syarat melakukan pembangunan proyek asrama haji. Kemudian uang muka proyek asrama haji digunakan untuk membayar fee pinjam bendera. Aturan tersebut jelas tidak dibenarkan dalam aturan Kementerian PUPR.
"Dalam aturan Kementerian PUPR, uang muka harus digunakan untuk mobilisasi peralatan, pembayaran material dan persiapan teknis lain. Pembayaran fee pinjam bendera itu sudah pastikan di luar aturan yang disebutkan tadi," kata Riko.
JPU Kejati Bengkulu, Lie P Setiawan SH MH mengatakan, satu saksi dan 3 orang saksi ahli dihadirkan untuk membuktikan adanya pekerjaan tidak selesai dan beberapa pelanggaran lain pada proyek asrama haji.
Salah satunya, para terdakwa membuat dokumen progres pekerjaan telah mencapai 21 persen, padahal kenyataannya pekerjaan baru sebatas 16 sampai 18 persen.
"Dibuat 21 persen itu karena syarat pencairan termin pertama adalah harus diatas 21 persen. Kenyataannya baru 16 persen," pungkas Lie.
Perkara tersebut mendudukkan dua terdakwa yakni Suharyanto selaku mantan Direktur Cabang PT Bahana Krida Nusantara (BKN) dan Panca Saudara diduga selaku makelar proyek dalam kasus tersebut.