Manajer Istri, Oleh: Dahlan Iskan
Dahlan Iskan--
Lia berhari-hari menangis. Pun di saat telepon saya di tengah malam. Saya harus bijaksana berbicara dengan wanita yang lagi dalam duka yang dalam.
"Saya...em... belum siap kehilangan James," ujar Lia sesenggukan. Tidak hanya satu-dua kali. "Saya sangat sayang James," katanya berkali-kali.
Sehari bisa tiga-empat kali Lia menelepon saya. Dari New York. Sebagai orang yang pernah sakit kanker saya tahu kejiwaan seperti apa yang dialami James dan Lia. Saya harus lebih dulu menata suasana kebatinan itu dulu.
Sikap pertama orang yang divonis kanker, Anda sudah tahu: menolak kenyataan itu. Kadang menyalahkan keadaan. Bahkan sampai menyalahkan Tuhan.
Lama-lama orang itu bisa menerima kenyataan. Kadang sudah terlambat.
Kian cepat seseorang bisa menerima kenyataan kian cepat pula bisa berpikir jernih: memikirkan apa yang harus dilakukan.
Lia sangat cepat mulai berpikir jernih. Dia memang wanita yang cerdas. Berpikir cepat. Bertindak cepat. Pun saat membantu orang lain. Jaringannya juga luas. Di New York dia sering diundang wali kota untuk berbagai urusan.
Kini dia harus menangani bukan orang lain. Dia harus menangani suami sendiri: James F. Sundah.
Akhirnya saya lega: Lia berhasil menemukan rumah sakit yang tepat untuk sang suami: RS Mt. Sinai. Terkenal sekali. James pun segera dikirim ke sana.
Dari cara Lia mencari dokter, mencari rumah sakit, mencari obat, dan melakukan pemeriksaan terhadap semua obat yang harus diminum James, saya berkesimpulan: Lia bisa menjadi manajer James yang andal. Istri menjadi manajer untuk suami.
Orang sakit tidak hanya perlu perawat. Orang sakit lebih perlu seorang manajer pasien.
Saya ingat saat menghadapi keadaan antara hidup dan mati 18 tahun yang lalu. Hari itu saya telah mendapatkan seorang manajer andal untuk memanajemeni sakit saya.
Anda sudah tahu siapa orang itu: Robert Lai –orang Singapura yang ketika lahir di Hong Kong bernama Lai Chong Wing.
Robert-lah yang mencari dan memilihkan rumah sakit yang tepat. Dokter yang tepat. Kamar yang tepat. Pun sampai mendiskusikan dengan dokter kegunaan dan risiko dari setiap obat yang diberikan ke saya.
Robert pula yang mendisiplinkan diri saya. Pun mendisiplinkan istri saya. Anak-anak saya. Bahkan Robert sampai menciptakan kondisi agar semua perawat bekerja secara baik.