Dansa 90, Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan--

Di Belanda, Kwik masuk ke dalam klub mahasiswa elite dan eksklusif. Yakni klub yang anggotanya hanya anak bangsawan dan miliarder. Anak pemilik perusahaan Philips ada di klub itu.

"Saya mengaku anak miliarder dari Indonesia," ujar Kwik. "Toh mereka tidak tahu," tambahnya terkekeh.

"Kan Pak Kwik memang anak miliarder saat itu," celetuk saya.

"Hahaha...." ia tertawa.

Sang ayah sudah memang pengusaha sukses: dagang macam-macam. "Yang saya ingat dagang tembakau, cengkih, dan emas," ujar Kwik.

Di klub elite itulah pesta dan dansa jadi kehidupannya. Di situ kalau lagi minum minuman keras seperti adu kuat. Demikian juga kalau dansa.

Dansa itu lantas berkembang menjadi hobi. Mencandu dalam diri. Sampai tua. Di rumah pun dansa. Pun bila hanya bersama istri.

Dansa itu juga diwariskan. Ditularkan. Ke anak-anaknya. Saat istrinya sudah tidak ada, Kwik berdansa dengan putrinya –rumah mereka bersebelahan di Radio Dalam.

"Kapan terakhir dansa?”

"Belum lama. Minggu lalu. Tapi yah sudah beda. Dansanya orang tua," katanya.

"Di mana dansanya?"

"Di rumah anak saya. Lantai dua rumah itu full untuk lantai dansa," katanya. "Ayo kapan ke sini lagi ikut dansa. Ajak teman-teman," katanya.

Saya bertemu Kwik di teras belakang rumah itu. Di dekat kolam renang yang panjang memanjang. Warna catnya biru tua setengah ungu. Kwik minum kopi espresso. Ia masih boleh minum kopi.

"Dulu sembilan gelas satu hari. Sekarang satu gelas," katanya.

Soal kopi ini, di zaman Bung Karno, Indonesia pernah punya masalah besar dalam ekspor ke Eropa. Termasuk ekspor kopi. Diboikot. Gara-garanya ada eksporter kita yang nakal: kirim sampah. Hampir persis dengan kenakalan eksporter sarang burung dan porang kita di tahun belakangan.

Tag
Share