Baca Koran curupekspress Online - bacakorancurup.com

Curhat ke ChatGPT Bikin Tenang ? Tunggu Dulu, Ini Kata Ahli Psikologi !

IST Bahaya curhat ke AI--

BACAKORANCURUP.COM - Di era digital seperti sekarang, teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) semakin akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu bentuk interaksi paling umum adalah berbicara atau curhat kepada chatbot AI seperti ChatGPT, Gemini, Meta AI, Character.ai, Nomi, hingga Replika.

Banyak orang merasa lebih nyaman mengungkapkan isi hati mereka kepada chatbot daripada kepada manusia. Alasan utamanya ? Tidak ada penilaian, tidak ada rasa malu, dan responsnya cepat. Namun, tahukah Anda bahwa kebiasaan ini sebaiknya tidak dilakukan secara berlebihan ?

Pakar psikologi memperingatkan bahwa terlalu sering menjadikan chatbot AI sebagai tempat mencurahkan emosi bisa membawa dampak negatif, terutama bagi kesehatan mental. Menurut mereka, chatbot AI tidak bisa menggantikan peran interaksi manusia secara utuh dan autentik.

BACA JUGA:Bukan Hanya di Indonesia ! Inilah 6 Negara yang Melestarikan Kebaya

BACA JUGA:Thriller Psikologis Penuh Misteri ! Ini Alur Cerita A Normal Woman yang Bikin Penasaran

Profesor psikologi dari University of Kansas, Omri Gillath, menilai bahwa komunikasi antara manusia dengan chatbot bersifat artifisial. “Rasanya seperti palsu dan kosong,” ungkapnya. Ini karena chatbot tidak benar-benar memahami emosi manusia, apalagi membangun koneksi sosial yang bermakna.

Gillath menjelaskan bahwa AI tidak mampu menghubungkan Anda dengan lingkungan sosial yang nyata, seperti mempertemukan Anda dengan teman-teman baru atau memberikan kehangatan emosional yang biasanya didapat dari pelukan atau kehadiran orang terdekat.

Yang lebih mengkhawatirkan, chatbot justru dirancang sedemikian rupa agar pengguna merasa ‘nyaman’ untuk tetap bertahan di platform.

Perusahaan pengembang menggunakan algoritma tertentu agar pengguna menjadi semakin terikat secara emosional dan terus-menerus berinteraksi. “Pengembang sengaja menanamkan kode agar chatbot terasa adiktif, demi menjaga engagement pengguna dan pada akhirnya, mendatangkan keuntungan finansial,” jelas Gillath.

Studi dari Harvard Business mengungkapkan bahwa banyak orang yang menggunakan chatbot sebagai alternatif teman curhat, terutama karena mereka merasa kesepian atau sedang membutuhkan dukungan emosional. Namun, penggunaan chatbot sebagai “terapis virtual” ternyata menyimpan risiko yang tidak boleh diabaikan.

Vaile Wright, seorang psikolog sekaligus Direktur Senior Inovasi Perawatan Kesehatan dari American Psychological Association, menegaskan bahwa chatbot AI tidak dirancang untuk memberikan respons yang sesuai dengan pendekatan psikologi klinis. “Chatbot lebih cenderung memberikan jawaban yang sekadar ingin didengar pengguna, bukan jawaban yang benar secara psikologis maupun medis,” ujarnya dalam podcast Speaking of Psychology.

Hal ini bisa menjadi berbahaya, terutama bila seseorang sedang berada dalam kondisi mental yang labil. Misalnya, jika seseorang yang sedang merasa terpuruk mengetikkan pesan tentang keinginannya untuk menghilang atau menyakiti diri sendiri, ada kemungkinan chatbot justru memperkuat pikiran tersebut karena hanya mengikuti alur percakapan tanpa memahami konsekuensinya.

Wright bahkan memberikan contoh yang cukup ekstrem. Ia mengatakan bahwa AI bisa saja menyarankan konsumsi zat tertentu yang secara legal tersedia dan dianggap “menyenangkan”, tanpa tahu bahwa pengguna tersebut adalah mantan pecandu yang sedang dalam masa rehabilitasi. Respons seperti ini, meskipun tidak disengaja, bisa berisiko memperburuk kondisi pengguna dan mempercepat kekambuhan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan