Rumah Sehat, Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan--

Begitu menerima jawaban Prof Sutiman yang sangat rendah hati saya pun cari-cari acara di Malang. Agar sekali dayung beberapa ikan terlampaui. 

Saya pun sampai di Rumah Sehat. Sabtu sudah hampir berubah menjadi malam Minggu. Prof Sutiman tetap menunggu kami. Di lantai dua Rumah Sehat itu. Satu ruang sudah disiapkan secara khusus. Proyektor sudah dipasang. Di layar terbaca huruf kanji. Prof Sutiman memang meraih gelar doktor nanobiologi di Nagoya University. Lalu masih lanjut lagi ambil Complicity Science di Mie University. 

Di ruang itu Prof Sutiman didampingi tiga orang doktor. Yang satu orang doktor biologi, lalu doktor fisika, dan satu lagi doktor big data rangkap artificial intelligence yang tak lain adalah putra beliau sendiri. Ny Sutiman yang berhasil hidup sehat setelah menderita kanker payudara juga ada di ruang itu. 

Maka satu jam saya menerima jawaban atas pertanyaan di atas. Sebagian saya pahami, sebagian lagi pura-pura paham. Atau terpaksa paham. Fisika, bilogi, kimia, elektro, dicampur jadi satu jawaban. 

Usai paparan matahari sudah hampir tenggelam. Saya masih sempat melihat ruang-ruang di Rumah Sehat itu. Ada satu ruang yang berisi banyak sofa tunggal. Itu adalah ruang untuk infus nano bubble. Setiap pasien duduk di sofa untuk diinfus. Nano bubble berisi oksigen ukuran 70 nano meter. 

Dengan ukuran segitu oksigen bisa langsung masuk ke sel tanpa mengikuti hukum Newton. Dengan demikian sel bisa mendapat pasok oksigen tanpa melalui jalur logistik tradisional: hidung, paru dan saluran darah. 

Dari ruang infus saya melihat ruang-ruang balur. Satu ruang berisi satu tempat tidur. Bentuknya seperti tempat tidur biasa tapi alas tempat tidur itu berupa lembaran tembaga. 

Lembaran tembaga itu di-grounding-kan ke tanah. Fungsi tembaga itu untuk mengurangi elektron dalam tubuh yang berlebih atau menambah kekurangan elektron. 

"Lapisan tembaga itu sebenarnya akan lebih baik kalau berupa lembaran emas 24 karat," ujar Prof Sutiman. "Belum punya uang untuk beli emas selebar tempat tidur," tambahnya. 

Mengikuti cara berpikir Prof Sutiman saya jadi bertanya-tanya mengapa IQ orang Indonesia dibilang rendah. 

Jumlah masjid terbanyak ada di Indonesia. Patung Yesus tertinggi di dunia juga di Indonesia. Maka saya marah ketika melihat di TikTok ada yang membeberkan IQ terendah se Asia Tenggara ada di Indonesia. Marahnya dalam hati: belum tentu isi TikTok itu salah. Mungkin IQ rendah tidak masalah asal indeks hidup paling bahagia ada di Indonesia. 

IQ tidak tinggi tapi bahagia. Miskin tapi bahagia. Tidak mau bertanya tapi bahagia. Sayangnya indeks kebahagiaan juga tidak tinggi di Indonesia. 

Mungkin sudah waktunya ada gerakan mahasiswa bertanya. Yang memprakarsai haruslah dosennya: jangan mau mulai mengajar kalau belum ada yang bertanya. Atau jatah makan siang gratis diberikan hanya kepada mahasiswa yang berani bertanya. 

Jadi, kenapa gigi berwarna putih? Mungkin memang tidak perlu ada yang bertanya. Ada yang sejak kecil sudah dibiasakan tahu jawabnya: itu bagian dari kekuasaan Tuhan yang maha pencipta. Selesai. 

Jelas, untuk mahasiswa S-1 perlu dibangun gerakan berani bertanya. Sedang untuk mahasiswa S-2 perlu ada gerakan shifting paradigma: membiasakan mahasiswa S-2 melihat apa pun dari sisi lain. Lalu sisi lainnya lagi. Itu yang dilakukan Prof Sutiman saat mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Juga ketika jadi dekan MIPA dua periode di sana. Pun ketika lagi jadi takmir masjid di kampungnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan