BACAKORANCURUP.COM - Sebagaimana diketahui, saat ini banyak masukan dari masyarakat yang meminta pengkajian ulang terhadap penerapan Ujian Nasional (UN) oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Republik Indonesia.
Bertepatan dengan itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menolak UN diterapkan kembali. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo mengatakan, terdapat alasan mengapa FSGI justru menolak UN dikembalikan seperti semula.
Menurutnya, sering kali UN membuat peserta didik stres karena menjadi penentu nasib kelulusan. Kondisi itu yang membuatnya menolak rencana UN diterapkan kembali dalam pendidikan.
Apabila kebijakan tersebut diberlakukan, sebut Heru, dinilai tidak dapat menjadi rujukan evaluasi pendidikan, bahkan alat seleksi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
BACA JUGA:Developer Belum Serahkan PSU Perumahan
BACA JUGA:Soal Penertiban Warung, Pol PP Minta Pihak Desa/Kelurahan Juga Proaktif
"Tapi kalau UN semata tujuannya sebagai alat evaluasi akhir jenjang, kemudian dipergunakan hasil UN itu sebagai alat seleksi, akan menimbulkan berbagai dampak negatif," jelas Heru, dari rilis yang diterima.
Salah satu poin penolakan ini, sambung Heru, berawal dari pengalamannya dan rekan-rekan sesama guru yang telah merasakan masa-masa UN diberlakukan.
Pihaknya mendapati, ketika UN menjadi alat penentu kelulusan peserta didik, maka muncul kecurangan-kecurangan yang bertujuan hanya demi mendapatkan kelulusan.
Dilain sisi, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengakui, meski terbuka atas pembahasan UN, dampak negatif yang dirasakan pun harus diperhatikan. Dia berkaca dari pada pengalaman penyelenggaraan yang sebelumnya pernah diterapkan, dimana UN memang membawa tekanan berlebihan kepada peserta didik.
Tak hanya itu, UN pun mendorong pengeluaran dana yang lebih besar bagi orangtua. Menurut Hetifah, ketika UN diberlakukan, sekolah sering kali memungut biaya untuk mengadakan pendalaman materi bagi persiapan peserta didik.
Organisasi guru lainnya ikut menolak, Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN) Rembang. Seperti dikatakan Anggita KGBN, Nissa, dirinya melihat UN memiliki kekurangan apabila dikembalikan. Ia pun mengatakan hal ini justru menempatkan posisi ibu semakin rentan dalam keluarga.
"Dampak dari UN ini seperti rantai yang tidak terputus. Ketika anak tidak lulus UN, kekerasan secara verbal dapat terjadi di keluarga. Pada akhirnya seorang suami dapat menyalahkan istri karena gagal menjadi ibu," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma menilai penyelenggaraan UN merupakan tindakan melanggar hukum atau ilegal. Dia merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) pada 14 September 2009 yang melarang UN dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional.