TKA Pengganti UN Tidak Wajib, Ini Penjelasan Mendikdasmen

ist Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti.--
BACAKORANCURUP.COM - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengungkapkan bahwa Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang menggantikan Ujian Nasional (UN) tidak wajib diikuti. Sedangkan UN yang terakhir diterapkan pada 2020 silam wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 6 SD, 9 SMP, dan 12 SMA.
"Kenapa tidak wajib? Karena banyak masyarakat yang menganggap tes ini membuat stres," ungkap Mu'ti, ditemui di Jakarta, 3 Maret 2025.
Sehingga apabila siswa tidak siap, terutama secara mental, diperbolehkan untuk tidakk mengikuti TKA.
"Yang kira-kira dia stres tidak usah ikut, yang siap ya ikut. Kalau dulu diwajarkan dia stres karena wajib. Ini tidak wajib. Ya, sudah, kalau kira-kira dia stres ya jangan ikut. Tapi kalau dia siap mental dan ingin untukk misalnya melanjutkan ke jenjang di atasnya dan bis apunya peluang untuk belajar yang tinggi lagi, ya, ikut," tandasnya.
Meski tidak diwajibkan, Mu'ti mengungkapkan pentingnya mengembalikan evaluasi hasil capaian pembelajaran yang terstandar ini.
BACA JUGA:Ini Penyebab Bekasi Kebanjiran
BACA JUGA:PolitisiNasDem Ahmad Ali Diduga Pemberi Dana Dugaan Suap, Pemilihan Ketua MPR dari Unsur DPD
Ia mengaku memperhatikan dinamika penerimaan mahasiswa baru baik di dalam maupun di luar negeri, seperti Belanda yang beberapa waktu lalu ramai dikabarkan enggan menerima calon mahasiswa baru dari Indonesia imbas dihapusnya UN.
"Di antara kenapa Belanda tidak mengakui, itu kan karena tidak ada penilaian yang berbasis individual. Dalam sistem lama (Asesmen Nasional), penilaiannya kan sampling, nah, nilai sampling itu oleh Belanda tidak diakui," ungkapnya.
Begitu pula dengan perguruan tinggi dalam negeri yang dia menerima saran dari panitia bahwa penilaian individual sangat dibutuhkan.
"Ini juga masukan dari panitia penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi kita, mereka perlu nilai individual, bukan nilai sampling," tambahnya.
Sementara apabila menggunakan nilai rapor, ia juga menyoroti polemik "sedekah" nilai, di mana, penilaian dari guru terkadang subjektif.
"Banyak masyarakat yang mempersoalkan validitas dari nilai rapor karena banyak yang guru-guru itu karena baik hati, jadi sedekah nilai kepada muridnya," lanjutnya.
"Harusnya 6, dinilai 8. Harusnya 8, dinilai 10. Sehingga ukuran-ukuran nilai yang seperti itu, kemudian kami coba minimalkan dengan tes kemampuan akademik yang itu terstandar," tegasnya.