Tiga Serangkai, Oleh: Dahlan Iskan

Senin 20 Jan 2025 - 21:03 WIB
Reporter : Gale
Editor : Radian

Akhirnya Alwi menemui saya di Surabaya. Ia minta agar Fajar bergabung ke grup Jawa Pos yang saya pimpin. Saya tidak mau. Saya pilih akan membantu manajemennya saja. Agar Fajar tetap jadi koran independen --tanpa harus Jawa Pos punya saham di dalamnya. 

Saya bertekad akan didik wartawan Fajar dengan cara magang di Jawa Pos. Demikian juga bagian pemasaran dan bagian iklannya. Mereka pun ke Surabaya. 

Setelah satu bulan penuh magang di Jawa Pos mereka pulang ke Makassar. Tanpa perlu modal dari Jawa Pos. Lalu mereka dipinjami kertas sebagai modal kerja. Juga tinta dan plate untuk percetakan. 

Dengan pinjaman itu saya yakin mereka bisa hidup lagi. Saya pun menunggu kapan Fajar terbit kembali. Sampai satu bulan kemudian Fajar belum terbit juga.  Tak lama kemudian saya dengar selentingan Alwi datang ke Kompas. Mau gabung ke grup Kompas. Saya tanya kepadanya kebenaran selentingan itu. Alwi membenarkannya. 

"Kenapa harus bergabung ke Jawa Pos atau Kompas? Kenapa tidak mau mandiri?" tanya saya. 

"Kami melihat masa depan koran di Indonesia hanya dua itu. Lainnya akan mati semua," jawabnya. 

Begitu Alwi menegaskan itu saya pun menjawab: "Ya sudah. Masuk Jawa Pos saja". 

Alwi senang. Sejak saat itu kami, dua pecinta jurnalisme, jadi dua serangkai. 

Saya pun ke Makassar. Tinggal satu minggu di sana. Saya bidanilah terbitnya kembali Fajar. Tanpa modal dari Jawa Pos. Setoran modal Jawa Pos adalah tenaga dan pikiran saya. Selama satu minggu itu saya kerja siang malam bersama para wartawan dan karyawan Fajar. Sore sampai malam saya bekerja bersama wartawan dan redaktur. 

Setelah tengah malam saya bekerja dengan orang-orang percetakan. 

Setelah subuh saya bekerja bersama karyawan distribusi. Baru tidur setelah pukul 06.00 pagi. 

Pukul 09.00 sudah harus bangun. Bekerja bersama orang-orang administrasi. 

Begitulah tiap hari. Sampai Fajar terbit kembali. Sampai semuanya berjalan lancar. Tiap hari pula makannya nasi bungkus. Tidak bisa makan banyak. Toilet kantor itu lebih buruk dari toilet terminal bus masa lalu. Di dalam kamar mandinya harus ada ganjal bata agar kaki tidak terendam air. 

Setelah itu saya masih begitu sering ke Makassar. Fajar harus berhasil. Harus jadi yang terbesar di Sulsel. Alwi tidak ikut pekerjaan seperti itu. Ia serahkan sepenuhnya kepada saya. 

Begitu Fajar sukses, saya kian jarang ke Makassar. Sudah waktunya disapih. Apalagi Fajar bisa benar-benar menjadi yang terbesar di sana. Belakangan mampu membangun gedung baru 17 lantai yang sangat megah di pusat kota. 

Di gedung itu jenazah Alwi Hamu disemayamkan --sebelum dikubur di pemakaman keluarga Jusuf Kalla tidak jauh dari gedung itu. 

Kategori :

Terkait

Senin 20 Jan 2025 - 21:03 WIB

Tiga Serangkai, Oleh: Dahlan Iskan

Minggu 19 Jan 2025 - 19:25 WIB

Malam Pertama, Oleh: Dahlan Iskan

Sabtu 18 Jan 2025 - 18:21 WIB

Dana Anagata, Oleh: Dahlan Iskan

Jumat 17 Jan 2025 - 22:23 WIB

Bukit Wangbuliao, Oleh: Dahlan Iskan

Jumat 17 Jan 2025 - 01:00 WIB

Uang Mati, Oleh: Dahlan Iskan