Menurut laman MUI, para ulama, berselisih dalam menyikapi hewan yang hidup di dua habitat ini.
Salah satu ulama, Imam Abu Zakaria bin Syaraf al- Nawawi dalam Minhaj al-Thalibin, yang juga dikutip dalam fatwa MUI menyebutkan:
وَمَا يَعِيشُ فِي بَر وَبَحْرٍ: كَضِفْدَعِ وسَرَطَانٍ وَحَيَّة حَرَامٌ.
"Hewan yang hidup di darat sekaligus di laut/air seperti kodok, kepiting, dan ular hukumnya haram (dikonsumsi)."
Sedang Ibnu Qudamah berpendapat:
كُلُّ مَا يَعِيْشُ فِي الْبَرِّ مِنْ دَوَابِّ الْبَحْرِ لَا يَحِلُّ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ كَطَيْرِ الْمَاءِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَكَلْبِ الْمَاءِ إِلَّا مَا لَا دَمَ فِيْهِ كَالسَّرَطَانِ فَإِنَّهُ يُبَاحُ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ
"Setiap hewan yang hidup di daratan berupa binatang melata laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih." (Lihat selengkapnya Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9, hlm. 337)
Fatwa MUI menyimpulkan, bahwa kepiting hanya hidup di air, baik di laut maupun di air tawar. Ditambah juga dengan ciri fisik bahwa kepiting bernafas dengan insang dan berhabitat air serta bertelur di air karena memerlukan oksigen di dalam air.