Uang Suara, Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan--

Itu juga bukan mesin yang lengkap. Kalau saya lihat fotonya, mesin itu hanya bisa untuk mencetak dua warna. Tidak cocok untuk mencetak yang. 

Berarti, kalau untuk mencetak empat warna, harus ”naik mesin” dua kali. Cetak dulu dua warna. Lalu mesinnya dicuci. Bak tinta dua warna dibersihkan. Diisi dua warna lainnya. 

Padahal mesin empat warna pun belum cocok untuk mencetak uang --apalagi dua warna. 

Berarti penggunaan mesin dua warna ini sungguh amatiran. Seandainya ia terpilih jadi bupati pun rasanya juga akan jadi bupati yang amatiran. 

Untuk mencetak uang, mesin yang harus digunakan tidak hanya empat warna. Harus enam warna. 

Tidak banyak perusahaan yang punya mesin cetak enam warna. Harus kelas Peruri (percetakan uang negara), atau perusahaan sekelas Gudang Garam dan Djarum. Harga mesinnya di atas Rp 100 miliar. 

Maka dengan mesin seharga Rp 600 juta, pastilah hasil cetakan uang di UIN itu sangat mudah diketahui palsunya. 

Dengan mesin dua warna pasti pula banyak sekali ”uang rusak” dihasilkan oleh mesin itu. Yakni uang yang gambar dan warnanya tidak menyatu. Jadi sampah. Sampah uang. Entah di mana sampah uang itu sekarang. Mungkin selalu dibakar. 

Dari sinilah saya akhirnya memahami mengapa yang dicetak hanyalah uang lembaran Rp 100.000. Biaya mencetaknya mahal. Kertasnya harus bagus. Juga mahal. Belum ada pabrik kertas di dalam negeri yang bisa menghasilkan kertas bermutu uang. 

Maka tidak heran bila ongkos cetak uang palsu di UIN ini satu lembarnya sampai Rp 57.000. Berarti kalau mencetak lembaran Rp 50.000 ia justru rugi. 

Tingginya ongkos cetak itu juga terkait dengan mutu mesin. Dalam dunia percetakan Tiongkok belum dikenal sebagai negara yang mampu membuat mesin cetak bermutu tinggi. Jerman-lah juaranya. Di bawah itu hanya ada Italia. 

Lalu, kalau bukan Andi Ibrahim siapa otak pencetakan uang palsu itu? 

Ada satu nama yang juga disebut dalam kasus ini: Annar Salahuddin Sampetoding, disingkat ASS. Tapi belum jelas apa peran Annar. Ia sudah dipanggil polisi tapi belum datang ke kantor polisi. Tentu kita tidak boleh menyangka Annar-lah otaknya. Untuk apa. Ia seorang pengusaha yang cukup ternama di Makassar. Namanya masuk dalam daftar panasihat tim pemenangan calon gunernur Sulsel yang terpilih. 

Annar juga dari keluarga terhormat. Ayahnya adalah seorang eksporter kopi Toraja yang terkemuka. Makam leluhurnya berada di tebing gunung paling tinggi di Toraja --menandakan sebagai orang paling dihormati. Meski seorang Muslim keluarga Annar masih menghormati adat leluhur Toraja. 

Annar sendiri jarang di Makassar. Salah satu keluarganya menjadi perwira tinggi polisi di Jakarta. Maka perlu pendalaman khusus mengapa nama Annar dikaitkan dengan kasus uang palsu ini. Apalagi, kata polisi, awal pencetakan uang palsu itu terjadi justru di rumah Annar di Jalan Sunu. Dengan mesin yang kecil. Lalu ditingkatkan ke mesin yang lebih besar di UIN. 

Tag
Share