Microsoft Pecat Dua Pegawai Usai Protes Hubungan dengan Militer Israel

Ilustrasi Net--
BACAKORANCURUP.COM - Dua pegawai Microsoft, Ibtihal Aboussad dan Vaniya Agrawal, dipecat setelah melakukan protes terkait hubungan perusahaan dengan militer Israel.
Protes ini berlangsung pada acara perayaan ulang tahun Microsoft di kantor pusatnya di Redmond, Washington, pada 4 April 2025.
Keduanya mengekspresikan ketidakpuasan terhadap penggunaan kecerdasan buatan (AI) Microsoft dalam operasi militer di Gaza.
Aksi protes tersebut terjadi saat CEO AI Microsoft, Mustafa Suleyman, sedang memberikan pidato. Aboussad, seorang software engineer, menghampiri panggung dan menuduh Suleyman terlibat dalam genosida, menyatakan bahwa Microsoft berkontribusi terhadap kematian ribuan orang di Gaza.
BACA JUGA:Yuk Simak! Ini 5 Kampus Milik BUMN yang Jadi Pilihan Alternatif Selain PTN dan PTS
BACA JUGA:Akibat Tarif Impor AS, Harga Harley Davidson Bisa seperti Suzuki
Tindakan berani ini membuat suasana acara menjadi tegang, bahkan Suleyman terpaksa menghentikan pidatonya.
Investigasi oleh Associated Press mengungkap bahwa Microsoft dan OpenAI menyediakan teknologi AI yang digunakan oleh militer Israel untuk menentukan target pengeboman. Serangan besar-besaran yang diluncurkan oleh Israel di Gaza sejak Oktober 2023 telah memicu banyak kritik, termasuk dari dalam perusahaan itu sendiri.
Microsoft menyatakan bahwa mereka memberikan ruang bagi karyawan untuk menyuarakan pendapat, tetapi keputusan untuk memecat kedua pegawai tersebut diambil setelah evaluasi situasi. Hal ini menunjukkan ketegangan antara kebijakan perusahaan dan nilai-nilai individu yang dipegang oleh karyawan.
Protes ini mencerminkan semakin tingginya kesadaran di kalangan pekerja teknologi tentang dampak dari produk mereka terhadap isu-isu kemanusiaan. Banyak karyawan di sektor teknologi kini mulai berani mengambil sikap terhadap kebijakan perusahaan yang mereka anggap tidak etis
Akhirnya, insiden ini menyoroti tantangan yang dihadapi perusahaan teknologi besar dalam menyeimbangkan antara kepentingan bisnis dan tanggung jawab sosial. Situasi ini mungkin akan memicu lebih banyak diskusi mengenai etika dalam penggunaan teknologi dalam konteks konflik global.