Hukum Sholat Kafarat Jumat Terakhir RamadhanI, ni Pandangan Ulama

ist Ilustrasi Sholat Kafarat Jumat Terakhir Ramadhan--

Al-Qadli Husain berkata, bila seseorang mengqadha shalat fardhu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam shalat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunah.

Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faedah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama,” demikian pandangan tersebut.

Sementara itu, Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf mengatakan bahwa keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat qadhanya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak, maka berstatus sunah.

Para ulama berpandangan dengan pertimbangan bahwa tidak ada orang yang meyakini keabsahan shalat yang baru saja ia kerjakan, terlebih shalat yang dulu-dulu.

Larangan shalat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran shalat tersebut cukup untuk mengganti shalat yang ditinggalkan selama setahun, tetapi para ulama berpandangan saat kekhawatiran itu hilang maka hukum haram hilang.

Mengikuti amaliyah para pembesar ulama dan para wali Allah yang ahli makrifat billah, di antaranya Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi dan banyak lainnya.

Shalat kafarat pada Jumat akhir Ramadhan rutin dilakukan dan diimbau oleh para pembesar ulama di Yaman.Bahkan di masjid Zabid Yaman, shalat kafarat ini rutin dilakukan secara berjamaah.

Dengan demikian, mengikuti amaliyah para wali dan ulama ahli makrifat tanpa diketahui dalil istinbathnya dari hadits Nabi, sudah cukup untuk menjadi argumentasi membolehkan shalat kafarat ini.

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin yang dikutip di dalam Kasyf al-Khafa’.

Di antara kaum, apabila mereka tidak memiliki dalil dari sunah Nabi yang ditetapkan dalam kitab syariat, mereka menghadap hatinya kepada Rasul, bila sudah berhadapan dengan Nabi, mereka bertanya kepada beliau dan mengamalkan apa yang dikatakan Nabi, akan tetapi yang demikian ini khusus untuk para pembesar sufi," demikian penjelasan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani.

Dari berbagai penjelasan di atas, baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan, Ustadz Mubasysyarum Bih menggarisbawahi bahwa shalat kafarat yang diyakini sebagai pengganti shalat fardhu yang ditinggalkan selama satu tahun, sama sekali tidak dibenarkan.

Sebab kewajiban bagi orang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau lupa, adalah mengqadhanya satu per satu, ulama tidak ikhtilaf dalam hal ini. Sementara shalat kafarat dimaksudkan sebagai langkah antisipasi saja

 

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan