Dalam Putusan MA No.24 P/HUM/2023 tegas disebutkan bahwa formula pembulatan ke bawah dalam penentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam daftar calon sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU No.10 Tahun 2023 adalah bertentangan dengan UU Pemilu dan UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW).
Saat itu, KPU diputus harus memedomani UU Pemilu dengan menerapkan ketentuan pembulatan ke atas dalam pencalonan keterwakilan perempuan untuk pemilu DPR dan DPRD.
Begitu pula dengan Putusan Bawaslu No.010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 yang menyatakan bahwa tindakan KPU yang tidak menindaklanjuti Putusan MA No.24 P/HUM/2023 terbukti secara sah dan meyakinkan.
Ini merupakan suatu pelanggaran administratif pemilu serta KPU diminta untuk melakukan perbaikan administratif terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme dalam tahapan pencalonan sesuai dengan Putusan MA No.24 P/HUM/2023.
"Sampai dengan berakhirnya persidangan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), KPU tidak menindaklanjuti Putusan MA dan Putusan Bawaslu ataupun melakukan perubahan atas Peraturan KPU tentang Pencalonan sebagai tindak lanjut atas Putusan MA," kata Hadar Nafis Gumay.
Selain itu, KPU juga sempat mendapatkan sanksi etik yang dijatuhkan oleh DKPP kepada Ketua dan seluruh anggota KPU melalui Putusan DKPP No.110-PKE-DKPP/IX/2023. Namun sayanya, putusan tersebut tidak membuahkan perbaikan perilaku serta koreksi etik dari Ketua maupun seluruh Anggota KPU RI.
Sampai pada akhirnya, pada 6 Juni 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan MK No.125-01-08-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh TPS pada daerah pemilihan Gorontalo 6 untuk Pemilu DPRD Provinsi Gorontalo Tahun 2024.
Perintah PSU tersebut dikarenakan KPU dalam persidangan PHPU, dinilai MK telah terbukti secara sengaja mengabaikan Putusan MA No.24 P/HUM/2023, Putusan DKPP, dan Putusan Bawaslu terkait ketentuan keterwakilan perempuan.