Miskin Bermartabat, Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan--

Perusuh seperti Agus Suryo pasti sudah menyiapkan komentar siapa yang dimakamkan di gedung berkubah itu. Juga siapa saja yang namanya ditulis di semua prasasti itu. Saya tidak perlu mendahuluinya. Yang Suryo pasti tidak bisa menulis  adalah: bagaimana bentuk dan keadaan nisan di makam utama itu. 

Saya juga tidak bisa menuliskannya. 

Nisan itu sedang ditutup terpal. Di sekujur nisannya yang panjaaaaang sekali. Sekitar tiga kali lipat lebih panjang dari nisan sultan Raden Patah di samping masjid Agung Demak. Di dalam bangunan itu juga penuh dengan andang --scaffolding. Beberapa orang bekerja di atas andang itu. Bersih-bersih. Mengecat. 

Kiai sepuh itu pun memimpin doa. Pendek. Sambil berdiri. Tidak ada kekhusukan seperti di makam Gus Dur di Tebuireng, Jombang. Keluar dari makam lebih banyak lagi yang mengerubung. Juga para wanita. Anak-anak. 

Lalu saya lihat dua lelaki perlente masuk ke makam. Gagah. Berjas. Berdasi. Wajahnya seperti keturunan Arab. 

"Assalamu alaikum," sapanya. "Kami dari Toronto". 

"Kanada?” 

"Yes". Kami pun ngobrol sambil berdiri. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada gasebo. Tidak ada tempat berteduh. 

"Kami lahir di desa ini. Besar di Addis Ababa. Sekarang tinggal di Toronto". 

"Sering ke sini?" 

"Sering. Sesekali". 

Jelaslah mereka masih keturunan yang dimakamkan di situ. Obrolan selesai. Lapar. 

Saya pun minta dibawa ke warung terbaik. Ini soal kesehatan benda yang akan masuk ke perut. Maka saya dibawa ke warung itu. Lihat foto depannya. Saya ditawari makanan lokal tapi tidak mengerti. Juga tidak mau berjudi. Saya pilih saja roti epek. Roti gapit. Telur dadar (putihnya saja) dijepit di dua belahan roti. 

Si Gus Pemandu menolak untuk ikut makan. Lalu setengah saya paksa. Tetap menolak. Ia lulusan D2 bahasa Inggris di kota kecil dekat desanya. 

"Puasa?" 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan