Sanksi Politik Uang di Pilkada Lebih Berat dari Pemilu
ist Ilustrasi uang--
BACAKORANCURUP.COM - Politik uang atau money politic merupakan praktik curang yang kerap dilakukan pada masa pemilihan umum.
Perlu diketahui bahwa politik uang merupakan tindakan yang melanggar hukum sehingga pelaku dapat dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menariknya, sanksi bagi pelaku politik uang pada pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) berbeda.
"Di Pilkada itu sanksi bagi (pelaku) politik uang lebih berat daripada di pemilu," ungkap Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Jakarta, 9 September 2024.
BACA JUGA:Bandara Ramat David Haifa Porak Poranda Akibat Rudal Hizbullah, Israel Ungsikan Ribuan Warga
BACA JUGA:Ancaman Pemanasan Global, Climate Innovation Week 2024 Fokus Solusi Permasalahan Iklim
Menurut Pasal 187A UU Nomor 10 Tahun 2016, pelaku politik uang bukan hanya orang yang memberi, tetapi juga menerima. Dan mereka bisa dipidana pada tiap tahapan pilkada.
"Bukan hanya di masa kampanye, pemungutan masa tenang, atau pemungutan suara. Setiap tahapan kalau ada politik uang yang memberi dan yang menerima, sanksinya itu sama," tuturnya.
"Sanksinya adalah pidana penjara paling singkat 36 bulan (3 tahun) dan paling lama 72 bulan (6 tahun) dan denda paling sedikit Rp200 juta, paling banyak Rp1 miliar. Itu di (Pasal) 187A ayat (1)," paparnya.
Pada ayat (2), lanjut Titi, sanksi sama diberlakukan kepada pemegang suara yang menerima uang.
"Apa iya gara-gara (terima uang) Rp100 juta, bayar denda Rp200 juta, masuk bui 3-6 tahun minimal," tegasnya lagi.
Maka dari itu, ia meminta agar masyarakat lebih sadar akan ancaman sanksi dan tidak melakukan politik uang.Terlebih, pelaku utama dari praktik ini seringnya tidak terkena hukuman.
"Biasanya, aktor intelektualnya gak terjangkau tuh. Operator lapangan saja yang bisa diproses pidana. Dan tindak pidana politik uang, itu nomor 2 paling banyak di Pilkada. Di 2020," ungkapnya.
Sementara pelanggaran pada pilkada yang menempati urutan pertama, diungkapkan oleh Titi, adalah netralitas aparatur sipil negara dan kepala desa