Mual, Muntah, atau Diare ? Bisa Jadi Itu Keracunan Makanan ! Ini Penjelasan Ahli UGM
IST Pemilihan bahan, kebersihan, dan ketepatan pengolahan dalam memasak tentu menjadi kunci penting untuk menghindari terjadinya keracunan makanan.-CE/Lola Anggraeni-
• Demam dan tubuh terasa lemas
Dalam kasus ringan, gejala dapat mereda dengan istirahat dan penggantian cairan. Namun pada beberapa kondisi, terutama bila terjadi dehidrasi berat atau gangguan kesadaran, penderita memerlukan penanganan medis segera.
Prof. Tri menekankan pentingnya memberikan pertolongan pertama dengan cepat ketika seseorang menunjukkan gejala keracunan makanan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan kebutuhan cairan terpenuhi, karena muntah dan diare menyebabkan tubuh kehilangan banyak cairan dan elektrolit.
"Upaya paling penting dalam pertolongan pertama adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang untuk mencegah dehidrasi," ujarnya, seperti dikutip dari laman resmi UGM.
Jika muntah masih berlangsung, penderita disarankan untuk minum sedikit demi sedikit, tetapi sering, agar cairan tetap masuk tanpa memicu refleks muntah. Cairan yang mengandung elektrolit, seperti oralit, air kelapa, atau larutan gula-garam, dapat menjadi pilihan yang baik.
Apabila kondisi tidak membaik, muntah terus terjadi, atau penderita tampak lemah dan tidak sadarkan diri, maka perlu segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut.
Selain gejala mual dan diare, penderita keracunan makanan juga dapat mengalami demam. Menurut Prof. Tri, demam merupakan mekanisme alami tubuh dalam melawan infeksi. Peningkatan suhu tubuh membantu memperlambat pertumbuhan bakteri dan memperkuat kerja sistem kekebalan.
"Demam membantu mengendalikan infeksi dengan memberi tekanan panas pada patogen serta meningkatkan efektivitas sistem imun," paparnya. Karena itu, selama suhu tubuh tidak terlalu tinggi dan tidak menimbulkan gejala berat lainnya, demam tidak selalu perlu ditekan dengan obat antipiretik.
Banyak masyarakat masih sulit membedakan antara alergi makanan dan keracunan makanan, padahal keduanya memiliki penyebab dan mekanisme yang berbeda.
Alergi makanan terjadi karena reaksi sistem imun tubuh terhadap zat tertentu yang dianggap berbahaya, meskipun sebenarnya tidak. Gejalanya muncul segera setelah mengonsumsi makanan pemicu, bahkan dalam jumlah kecil. Reaksi dapat berupa gatal-gatal, ruam kulit, pembengkakan pada wajah atau saluran napas, sesak napas, hingga reaksi berat yang disebut anafilaksis, yaitu kondisi yang bisa mengancam jiwa.
Sebaliknya, keracunan makanan tidak disebabkan oleh reaksi imun, melainkan oleh masuknya mikroba atau racun dari makanan. Gejala seperti sakit perut, muntah, dan diare biasanya muncul beberapa jam hingga hari setelah makanan dikonsumsi.
Sebagian besar kasus keracunan memang bersifat ringan dan bisa sembuh tanpa pengobatan khusus, tetapi dalam situasi tertentu, seperti pada anak-anak, lansia, atau orang dengan daya tahan tubuh lemah, kondisi ini bisa menjadi serius.
Menurut Prof. Tri, ada banyak jenis bakteri yang dapat menimbulkan keracunan makanan, namun dua di antaranya yang paling umum adalah Salmonella sp. dan Escherichia coli (E. coli).
Bakteri Salmonella patogen mampu bertahan terhadap asam lambung dan menyerang lapisan usus, menimbulkan peradangan serta luka. Sementara itu, beberapa jenis E. coli yang menghasilkan toksin Shiga (Shiga toxin-producing E. coli/STEC) dapat menyebabkan penyakit pencernaan yang berat, bahkan komplikasi serius pada ginjal.
"Meskipun gejalanya mirip, mekanisme penyebabnya berbeda-beda tergantung pada jenis bakterinya," terang Prof. Tri.