Alwi Novi, Oleh: Dahlan Iskan
Dahlan Iskan--
- Apa ini?
+ Ini api.
Itulah permulaan pelajaran bahasa untuk mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di Tiongkok. Dengan dialog empat kata itu mereka pun mengenal ada dua jenis huruf dalam 印尼文: huruf hidup dan huruf mati.
Harus tahu dulu itu.
Tidak semua huruf itu hidup dan tidak semuanya mati. Hidup dan mati harus dikombinasi agar bisa berbunyi.
Sebelum itu, dosen bahasa Indonesia di sana, Alwi Arifin, memperkenalkan apa saja huruf yang disebut huruf mati: p,b,m,n. Itu dulu. Lalu apa saja yang disebut huruf hidup: a,i,e,o,u.
BACA JUGA:Aturan Terbaru MenPAN RB, Tahun 2025 Instansi Pemerintah Dilarang Lalukan Ini
BACA JUGA:15 Bank BPR Ditutup OJK Lantaran Soal Ini
Masih ada satu huruf hidup lagi yang diperkenalkan oleh Alwi ke mereka: e dengan coret miring di atas. Itu untuk membedakan "e" untuk "enak" dan "e" untuk ¬–"entar" dulu saya pikir contohnya. "Entah" kenapa sulit dapat contohnya. Alwi, Anda sudah tahu: alumnus pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Ia kuliah S-1 dan S-2 di Xiamen, provinsi Fujian. Alwi satu almamater dengan Novi Basuki, redaktur rubrik Cheng Yu di Harian Disway, Surabaya. Sejak dari Nurul Jadid sampai Xiamen.
Bedanya Novi masih lanjut ambil gelar doktor di Guangzhou. Alwi langsung menerima tawaran bekerja di sana. Ia diminta jadi guru bahasa Indonesia di kota Fuqing, tiga jam naik mobil di utara Xiamen.
Sudah dua tahun Alwi mengajar di Fujian Polytechnic Normal University. Semacam IKIP di Indonesia. Itu satu-satunya perguruan tinggi di Fujian yang punya jurusan bahasa Indonesia.
Ini tahun kedua Alwi jadi dosen. Hampir genap dua tahun. Sampai nggak sempat pulang untuk, misalnya, kawin. Ia jomblo ting-ting. Belum punya calon. Umur 28 tahun.
Seperti juga Novi, ia suku Madura pendalungan –Madura perantauan yang lahir di Tapal Kuda (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo dan sekitarnya). Begitu banyak orang Madura di kawasan itu sampai ada humor: suatu saat kalau Madura merdeka ibu kotanya di Malang.