Baca Koran curupekspress Online - bacakorancurup.com

Di Era Digital Kok Masih Ada Sertipikat Ganda ? Ini Jawabannya !

Sengketa sertifikat ganda yang kerap ditemui, bisa cek di aplikasi Sentuh Tanahku. Sumber foto @kementerian.atrbpn--

BACAKORANCURUP.COM - Kasus sertipikat tanah ganda kembali menjadi perhatian serius di masyarakat. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi belakangan kembali mencuat karena semakin banyak warga yang menemukan bahwa lahan yang sudah mereka kuasai dan rawat selama puluhan tahun ternyata juga diklaim oleh orang lain.

Tidak sedikit yang terkejut ketika mendapati bahwa bidang tanah mereka memiliki lebih dari satu sertifikat resmi yang diterbitkan oleh lembaga yang sama.

Walaupun pemerintah terus berupaya memperbaiki sistem pertanahan melalui digitalisasi, persoalan sertifikat ganda masih sering muncul di berbagai daerah.

Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, memberikan penjelasan mengenai akar permasalahan ini serta langkah-langkah yang sedang dilakukan pemerintah untuk menanganinya.

Menurutnya, sebagian besar kasus sertifikat ganda tidak muncul dari proses penerbitan baru, melainkan merupakan produk masa lalu ketika sistem administrasi pertanahan belum serapih sekarang.

BACA JUGA:Heboh Aplikasi Bumi ATR BPN, Kini Cek Bidang Tanah Bisa Dilakukan dari HP !

BACA JUGA:Aturan Baru JKN: Rujukan Tak Lagi Berjenjang, Kini Langsung Berdasar Kompetensi RS

Nusron memaparkan bahwa mayoritas sertipikat ganda berasal dari dokumen yang diterbitkan pada rentang 1961 hingga 1997. Pada periode tersebut, pencatatan pertanahan masih dilakukan secara manual menggunakan arsip fisik.

Dokumen-dokumen lawas tersebut belum seluruhnya masuk ke database elektronik BPN, sehingga potensi terjadinya tumpang tindih data cukup tinggi. Ketika dokumen lama belum terdigitalisasi secara utuh, tanah yang sebenarnya sudah memiliki sertifikat dapat terlihat seperti belum pernah tercatat dalam sistem digital.

Ia menyebutkan bahwa permasalahan sering terjadi karena bidang tanah tampak kosong di basis data modern. Ketika ada pemohon baru yang datang membawa bukti fisik, data yuridis, serta riwayat tanah yang tampak sesuai, sistem tidak dapat langsung mendeteksi bahwa bidang tersebut sudah pernah diterbitkan sertipikat sebelumnya. Akibatnya, sertifikat baru bisa terbit tanpa disadari bahwa tanah itu telah dimiliki oleh pihak lain secara sah.

Pada masa sebelum digitalisasi, proses pengecekan kepemilikan tanah sangat bergantung pada kelengkapan arsip manual, keberadaan buku tanah di kantor pertanahan, serta koordinasi antara petugas dan pemerintah desa. Jika salah satu elemen administrasi tersebut tidak lengkap, rawan terjadi kekeliruan. Kondisi semakin rumit jika pemilik tanah tidak aktif menjaga asetnya, jarang mengawasi wilayah tersebut, atau tidak memberikan informasi kepemilikan kepada perangkat desa. Semua faktor ini memperbesar kemungkinan munculnya klaim ganda.

Menurut Nusron, berbagai kasus yang mengemuka saat ini merupakan efek dari proses transisi menuju sistem pertanahan digital yang lebih tertib. Ketika dokumen-dokumen lama dipindahkan ke sistem baru, data yang tidak cocok atau saling tumpang tindih akan mudah terdeteksi, sehingga tampak seperti kasus baru. Padahal, inti masalahnya sebenarnya berasal dari catatan lama yang belum sempurna.

Sebagai solusi, pemerintah meminta masyarakat yang memiliki sertifikat lama untuk segera memperbarui data mereka di kantor pertanahan setempat. Pemutakhiran data ini penting agar dokumen lama bisa masuk ke sistem digital, sehingga meminimalkan risiko terbitnya sertifikat ganda di kemudian hari.

Pemerintah daerah, camat, lurah, hingga ketua RT dan RW juga diminta ikut berperan aktif mengajak warga melakukan pembaruan dokumen pertanahan. Bila diperlukan, BPN dapat melakukan pengukuran ulang untuk memastikan kesesuaian data fisik dengan catatan yang tersimpan di sistem elektronik.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan